Monday, June 8, 2009

Dialog Ke-TUHAN-an : 30

DimasRangga said...

Wa'alaikumussalam Wr. Wb.

Ukhtii Dewi Prasetyo, berikut jawaban tentang masalah Reinkarnasi dalam Islam:

Reinkarnasi merupakan topik yang sebenarnya sudah menjadi bagian dari sebagian keyakinan dan budaya masyarakat Indonesia. Jadi dari segi kebahasaan maupun konsumsi dunia hiburan seperti film maupun sinetron, reinkarnasi sebenarnya bukan hal baru.

Dalam ajaran Agama Islam arti reinkarnasi, dengan pengertian yang seringkali hanya dipahami sebagai penitisan, sesekali memang muncul menjadi pembicaraan yang seringkali mengundang banyak pertanyaan karena khasanah literatur Islam tidak mengenal konsep reinkarnasi sebagaimana dipahami dari bahasa asalnya.

saya tertarik untuk mengulasnya menjadi suatu artikel yang lumayan panjang. Tujuannya bukan mencari pembenaran tapi membuka perspektif tentang pengertian reinkarnasi supaya kita tidak menggunakan istilah yang sebenarnya maksudnya berbeda kalau kita gunakan dari sudut pandang Agama Islam. Dan mungkin menjelaskan suatu fenomena psikis yang sebenarnya berbeda dengan maksud dan arti kata reinkarnasi itu sendiri. Jadi, pembaca silahkan merenungkannya dengan pikiran yang terbuka dan jernih supaya pengertian reinkarnasi tidak menyesatkan.

Bagi Umat Islam tentunya semua itu harus dikembalikan kepada pokok-pokok dasar keyakinan Islam baik sebagai adab personal maupun sebagai Agama. Saya sendiri mempunyai keyakinan kalau reinkarnasi hanyalah salah satu tafsir dari fenomena yang sering dirasakan oleh seseorang dimana perasaan “seolah-olah” saya menjadi anu, anu atau anu seringkali terjadi, dan kejadiannya nampak berulang sebagai suatu siklus. Mungkin, reinkarnasi ini mirip dengan fenomena yang disebut “de ja vu” (seolah-olah pernah kesini atau ada di suatu tempat) yang banyak juga dirasakan olah orang sebagai suatu keadaan yang “sering dialami”.

Penalaran Reinkarnasi

''Reincarnate'' yang di Indonesiakan menjadi Reinkarnasi secara harfiah artinya memperoleh (tubuh) daging lagi (bahkan disebutkan oleh A. Chojim secara spesifik sebagai tubuh manusia). Meskipun banyak digunakan sebagai suatu konsep aktualisasi kembali, sesungguhnya reinkarnasi merupakan evolusi konsep penalaran manusia tentang siklus kehidupan setelah penalaran monoteisme yang meyakini wujud Yang Maha Tinggi, dan Maha Esa dan rasionalitas dengan sebab-akibat. Penalaran monoteisme berujung pada sikap dan adab yang tertunduk dan berserah diri (ISLAM) seperti yang difirmankan Tuhan kepada Nabi Ibrahim a.s (see QS 2:131).


Pada tulisan ini saya sebut reinkarnasi merupakan hasil penalaran akal manusia ketika melihat suatu kenyataan yang masih tidak pasti bahkan tersamarkan. Disebut tidak pasti dan tersamarkan karena kita tidak tahu persis apa yang terjadi seperti halnya kita tidak tahu mau kemana setelah kematian. Kecuali Anda mengaku-ngaku telah menjadi wadah reinkarnasi ini atau itu, maka konsep reinkarnasi sejatinya konsep penalaran yang subyektif-personal. Sama halnya dengan pertanyaan, kemana setelah mati? Apa yang terjadi setelah hembusan nafas terakhir dicabut?


Nalar reinkarnasi, sedikit lebih maju dibanding nalar satu langkah sebab-akibat. Meskipun demikian nalar reinkarnasi nampaknya berasal dari nalar monoteisme. Namun telah mengalami suatu reduksi dan distorsi akibat pengaruh zaman purba. Sebagai contoh bagaimana ajaran monoteisme bisa terdistorsi bisa kita lihat dari sejarah Nabi Idris a.s. yang dikaji oleh Prof. Adil Thaha Yunus. Menurut kajian Prof. Adil Thaha Yunus dalam buku “Jejak-jejak Utusan Allah”, Ajaran Nabi Idris a.s. di Mesir yang mengatakan adanya Hari Kebangkitan setelah kematian mengalami distorsi setelah Nabi Idris a.s. wafat, atau menurut Al Qur’an diangkat ke langit “Dan kami telah mengangkatnya disuatu tempat yang tinggi...” (QS 19:57). Banyak orang yang akhirnya membuat cerita mitos dan menjadikan Nabi Idris a.s. sebagai Dewa sebagaimana Nabi isa juga diangap sebagai Tuhan bagi kaum Kristiani. Bahkan, menurut seorang peneliti Mesir, Nabi Idris a.s. tidak lain adalah Osiris (4350-4250 SM), seorang raja yang memerintah Mesir sebelum Zaman Besi. Setelah kematian Osiris, baru kemudian muncul pengkultusan karena keberhasilan Osiris memimpin Mesir, sampai akhirnya menjadikannya sebagai Dewa Osiris dan kemudian mitos ini diteruskan dari generasi ke generasi sampai era Nabi Yusuf a.s (1745-1635 SM).


Distorsi suatu ajaran sepanjang kurun sejarah manusia memang sepertinya menjadi suatu sunnatullah, sesuai dengan karakter manusia yang dipengaruhi banyak aspek seperti kekuasaan, kemewahan, atau pengkultusan. Dalam ajaran Nabi Idris a.s. dan juga nabi Isa a.s., konsep-konsep kebangkitan setelah kematian, pahala dan siksa merupakan konsep-konsep awal monoteisme yang mudah sekali didistorsikan menjadi berbagai keyakinan baru sesuai dengan kepentingan dan motif penganutnya. Demikian juga siklus reinkarnasi, diperkirakan merupakan distorsi dari keyakinan aslinya yang monoteisme dimana terjadi kebangkitan setelah kematian, namun tanpa pahala dan siksa. Tetapi terlebih dulu melalui siklus pembersihan atau penyucian (dalam hal ini bisa dibandingkan dengan konsep surga dan neraka, apakah orang yang ada di neraka disucikan atau disiksa? Apakah yang disurga bisa disebut sudah suci? Ini semua akhirnya berakhir di masalah istilah dan term serta maknanya baik yang harfiah maupun luas dan universal). Sampai akhirnya muncul pengertian re-inkarnasi yang secara harfiah artinya memperoleh (tubuh) daging lagi.

Hal yang sama terjadi juga dalam era filsafat Yunani ketika diperkenalkan gagasan kekekalan. Gagasan kekekalan dalam filsafat-filsafat Yunani atau raja-raja kuno, dapat diselewengkan karena ketidaktahuannya atau karena kepentingan-kepentingan yang sifatnya keduniawian atau materialistis. Misalnya untuk kelanggengan kekuasaan sekelompok suku maupun kekuasan agama (maksudnya sekelompok oknum penguasa agama). Akibat pendistorsian pemahaman ini, maka dapat muncul suatu keyakinan lain bahwa mereka yang meninggal kembali lagi ke dunia dalam bentuk-bentuk yang lain, lahirlah pemikiran tentang penyucian jiwa berkesinambungan sampai hari kiamat tiba. Nalar reinkarnasi model Yunani ini kemudian dikembangkan oleh Phytagoras (530 SM) sebagai salah satu ide filsafatnya.

Hari ini, penalaran yang serupa juga muncul di dunia modern dalam jargon yang lebih “marketable” yaitu “kebebasan”, padahal tidak ada kebebasan yang mutlak selama kita masih mempunyai akal pikiran yang hanya setuju dengan dasar-dasar geometri, bilangan dan huruf yang terbatas yaitu 10 bilangan dan 28/26 huruf. Jadi seorang pengarang atau penyair pun tidak bebas, demikian juga Nabi Muhammad SAW ketika menerima Pesan-pesan Ilahi tidak bebas mengungkapkannya karena terikat pada sistem ilmu pengetahuan, kemampuan daya pikir masyarakat saat itu, maupun beberapa batasan lainnya. Kendati demikian, Wahyu Ilahi bersifat universal dan mengandung berbagai makna yang bertingkat-tingkat sesuai dengan kondisi masing-masing orang yang memahami dan mengimplementasikannya. Karena itu, tidak mengherankan kalau sepanjang sejarah manusia penafsiran al-Qur’an menjadi sedemikian banyaknya.

Jadi, tak ada kekebasan yang absolut bagi manusia yang berakal pikiran dengan pedoman yang benar seperti halnya seorang pelukis akan terikat oleh luas kanvasnya, dan warna-warni catnya. Ekspresinya yang dituangkan diatas kanvas adalah ekspresi yang dimunculkan karena keterbatasan yang memang sudah menjadi ditentukannya. Demikian juga Tuhan menciptakan makhluk dengan suatu batasan dan keterukuran karena tanpa batasan demikian yang namanya makhluk tak pernah ada dan Tuhan “Ada” dalam Kekekalan-Nya yang Mandiri. “Kebebasan” adalah jargon kaum utopis dan hipokrit yang serupa dengan gagasan tentang utopia “Kekekalan” yang diimpikan oleh makhluk yang kita sebut sebagai Iblis dan Setan yang gagal memaknai arti dirinya sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan Yang Esa (QS 18:51).

Pada akhirnya, saya menyimpulkan bahwa nalar reinkarnasi sedikit banyak merupakan hasil distorsi atas ingatan primordial monoteisme. Reinkarnasi yang kemudian digali kembali oleh alam pikiran Yunani yaitu oleh Phytagoras kemudian dikukuhkan dengan kepercayaan akan siklus keabadian jiwa di dunia sampai tersucikan dan berulang-ulang. Akhirnya, dalam pandangan reinkarnasi, menjadi suatu kebolehjadian kalau seseorang akan menjelma menjadi kodok, gajah, kadal atau makhluk lainnya tergantung kepada kehidupannya di dunia (sebab -akibat di dunia yang sama). Jadi, sebenarnya ada suatu sintesa antara nalar sebab-akibat di dalam sangkar ruang-waktu dengan nalar di luar ruang-waktu. Meskipun demikian, nampaknya dalam banyak pengertian reinkarnasi seringkali terjadi di sangkar ruang waktu yang sama.

Dalam era filsafat Yunani, Pythagoras mengembangkan konsep pemikiran reinkarnasi secara sistematis. Ia dikenal sebagai filsuf yang juga ahli aritmatika. Bahkan ia mendirikan semacam tarikat keagamaan yang disebut Kaum Phytagoras. Mereka diam dan menyisihkan diri dari masyarakat dan hidup selalu dengan amal ibadat. Tujuan kaum Phytagoras ini adalah mendidik kebatinan dengan menyucikan ruh.

Menurut keyakinan Phytagoras, manusia berasal dari Tuhan; jiwa jatuh ke dunia karena berdosa, oleh karena itu dia akan kembali kepada Tuhan. Namun sebelum kembali ia harus benar-benar suci, sehingga diperlukan proses penyucian terus menerus dalam bentuk perpindahan jiwa dari makhluk yang sekarang menjadi makhluk yang lainnya di dalam sangkar yang sama. Misalnya jiwa seseorang setelah mati akan beralih menghuni wujud seekor tikus, kucing, anjing, kadal, dan bentuk-bentuk makhluk lainnya. Masalahnya, ketika seseorang kemudian menjadi seekor binatang atau benda-benda keramat maka akan sulit menilai apakah ruh yang bereinkarnasi itu layak dinilai atau tidak perbuatannya.

Dalam pengertian monoteisme, tindakan binatang atau bebatuan tidak dikenai hukum syariat, artinya semua aktivitasnya tidak akan diberi nilai sebagai suatu amal baik atau buruk. Jadi kalau kita ikuti terus dengan penalaran monoteisme maka seseorang yang bereinkarnasi menjadi kodok akan tetap menjadi kodok selamanya karena perbuatannya tidak diperhitungkan lagi sebagai suatu amal yang diberi nilai sebagai suatu pahala. Dalam arti khusus, makna yang dipahami manusia tidak sebanding dengan makna yang dipahami seekor kodok. Kalau tidak demikian maka tidak ada hukum keseimbangan harmonis karena manusia akan menilai kodok dengan ukuran kemanusiaannya dan kodok akan menilai manusia dengan ukuran kekodokannya. Kalau kita percaya hal demikian maka siap-siaplah kita pun akan diprotes di hadapan al-Mizan dan akan masuk neraka semua karena makhluk lainnya tidak rela telah menjadi santapan kita. Pada akhirnya reinkarnasi akan berakhir dalam dunia perkodokan dengan pengetahuan yang hanya dipahami oleh golongan kodok saja.

Reinkarnasi akan meyakini suatu siklus tanpa henti entah sampai kapan. Urutan proses berfikirnya menjadi :

Sebab Absolut => akibat 0 =>
Sebab di sangkar Kesadaran Ruang Waktu (KRW) => Akibat KRW => Barzakh => Sebab KRW => Akibat KRW => Barzakh
..……Akibat 1

Terjadi siklus sebab – akibat yang tidak berkesudahan sampai manusia benar-benar disucikan. Hanya saja, kapan manusia itu menjadi suci menjadi kabur kecuali bersandar pada keyakinan bahwa siklus tersebut berhenti sampai hari kiamat tiba. Kalau kita mengikuti alur reinkarnasi, maka menjadi sedikit aneh karena tujuan penciptaan menjadi tanpa makna.

Pertanyaan untuk menjawab untuk apa alam semesta diciptakan akan berakhir pada kesia-siaan, karena tidak ada bedanya antara yang percaya bahwa Tuhan itu ada atau tidak. Disini, tidak ada proses pembelajaran dan implementasi pengetahuan hakiki baik yang berhubungan dengan sosial kemasyarakatan, pengelolaan alam, maupun hubungan yang benar antara makhluk dengan Tuhan Yang Maha Esa, yang terjadi adalah individualisasi asketik yang akan berakhir pada ilusi kesombongan diri yang suci yang akhirnya jatuh pada materialisme kekeluargaan yang berlebihan bahkan sampai munculnya kasta-kasta.

Kalau sudah demikian maka Tuhan pun tidak menjadi Rabbul ‘Aalamin tetapi menjadi terlihat sangat dzalim dan bodoh karena tidak mampu mendesain makhluk yang mampu memberikan makna hakiki dengan Diri-Nya sebagai Tuhan Yang Esa. Pada akhirnya, yang muncul malah benih-benih penyakit yang menjebloskan Iblis dalam ilusi merasa diri paling suci sehingga ia menolak perintah Tuhannya. Dengan penalaran reinkarnasi, manusia pun akhirnya menduga bahwa untuk mencapai akibat 1 (surga) adalah dengan melakukan penyucian total alias menjadi asketik sama sekali; melepaskan diri dari jalinan sosial dengan masyarakat kebanyakan.

Dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya penalaran reinkarnasi lahir dari ilusi materialistik baik berupa kesucian diri, kekuasaan, maupun hasrat keduniawian lainnya. Misalnya, keengganan untuk melepaskan atribut-atribut materialistik yang pernah dimilikinya seperti kekuasaan sebagai raja atau keistimewan-keistimewaan tertentu sebagai pemegang otoritas keagamaan. Selain itu, ketidaktahuan secara utuh akan apa yang ada di luar ruang-waktu yang sebenarnya dan penyelewengan atas keyakinan karena motif-motif tertentu dapat melahirkan pola berfikir akan keabadian, atau ingin melanggengkan keistimewaannya sebagai pemegang otoritas yang dilimpahi kemewahan, dan demikian juga ilusi tentang kebebasan mutlak dirinya. Sampai akhirnya, pada titik terjauhnya pola pikir yang terdistorsi akan mengarahkan manusia pada pengkultusan berlebihan sampai penuhanan manusia seperti kasus Firaun di Mesir, Hitler di jerman, Polpot di Kamboja dan berbagai tempat lainnya di dunia yang melahirkan kisah sedih tentang “Perang dan Damai”.

Dalam formatnya yang paling menipu manusia, penalaran reinkarnasi akan mengira kalau ruh manusia dikatakan bisa gentayangan menjadi memedi, hantu, kuntilanak, kolong wewe, dan bentuk-bentuk menakutkan lainnya. Dalam perkembangannya, faham Phytagoras ini pun akhirnya mengalami banyak distorsi juga dari murid-muridnya sendiri, karena sejak awal ajarannya tidak terdokumentasikan secara tertulis dengan baik. Bahkan beberapa muridnya akhirnya mengkultuskan Phytagoras dan mengatakannya sebagai dewa. Sejarah keberagamaan atau suatu keyakinan pada akhirnya dipenuhi mitos-mitos dan legenda-legenda karena tidak terdokumentasi dengan baik, pemahaman yang tidak utuh, keterikatannya kepada keduniawian, dan terlalu mengkultuskan individu karena tidak mampu mencerna suatu ajaran dengan benar.

Islam Tidak Mengenal Reinkarnasi

Islam sejatinya tidak mengenal fenomena yang dikatakan sebagai Reinkarnasi seperti yang dimaksudkan dalam ajaran Budha maupun Phytagoras. Di ajaran Islam tidak dikenal peristiwa penjelmaan atau SIKLUS kelahiran kembali dari satu daging ke daging lainnya atau satu bentuk ke bentuk lainnya sebagai suatu konsep hukum Tuhan atau sunatullah di dalam sangkar ruang-waktu yang sama. Pengertian kelahiran atau re-born sebenarnya berhubungan dengan pemahaman termurnikannya jiwa dari selubung nafsu. Jadi, apa yang dimaksud kelahiran didalam Islam beda maksudnya dengan ajaran Reinkarnasi di agama Budha.

Memang ada beberapa ayat yang mengesankan terjadinya peristiwa yang mirip seperti reinkarnasi. Namun sesungguhnya bukan reinkarnasi karena fenomenanya berbeda secara prinsipil dan karena peristiwa yang dimaksud di dalam al-Qur’an berhubungan dengan Penauhidan langsung yaitu penyaksian di alam alastu (penyaksian) bagi setiap jiwa menjadi makhluk beriman (al-Mukminun) yang kelak dilahirkan sebagai makhluk yang fitri.

Kalau kita bandingkan dengan fenomena hukum alam, siklus atau peristiwa berulang yang nampak mirip-mirip sebenarnya yang terjadi bukan reinkarnasi tapi memang aktualisasi dari sunnatullah yang tetap berupa siklus yang sama dan terukur (ini sejatinya bagi kepentingan manusia). Namun, siklus ini kalau dikaitkan dengan alam mempunyai karakteristik umpan balik yang langsung berhubungan dengan terjadinya tanda-tanda alam. Dan ini akan berubah juga karena dengan semakin meningkatnya aktivitas manusia siklus fenomenal di dunia juga berubah dan terpengaruh. Global Warming misalnya, merupakan contoh nyata bagaimana perubahan siklus alam terjadi karena meningkatnya aktivitas manusia.

Sepanjang sejarah bumi, selalu terjadi siklus dengan sebab yang identik maupun berbeda. Gempa besar misalnya dulu mungkin periodisasinya x tahun, namun mungkin sekarang bukan x lagi karena ada perubahan-perubahan di Bumi akibat ulah manusia. Siklus seperti itu bukan menandakan reinkarnasi tapi merupakan ketentuan yang terjadi. Dan karena itu sampai saat ini orang tidak bisa memprediksikan kapan kejadiannya karena banyak aksi-reaksi yang terjadi dengan semakin meningkatnya peradaban manusia. Tidak heran kalau para peramal dan dukun yang dulu menjadi sandaran orang tidak lagi mampu meramal dengan akurat tetapi kira-kira berdasarkan gejala umum saja (yang ternyata seringkali sudah berbeda fenomenanya). Dalam matematika modern, karena banyaknya sumber ketidakpastian dari penyebab sesuatu masalahnya kemudian disebut Chaos (kacau). Agamalah yang kemudian mengikat kekacauan itu supaya orang punya keyakinan kalau semua itu sejatinya rahmat dan sebenarnya manusia itu lemah dalam pengetahuannya termasuk lemah tentang apa yang terjadi setelah kematian?

Orang pun berspekulasi dengan berbagai cara untuk menutupi kelemahan ini, termasuk tulisan inipun sebenarnya spekulasi berdasarkan pengetahuan yang ada serta intepretasinya. Salah satunya nanti ada surga dan neraka, atau nggak apa-apa bisa diperbaiki kok nanti kan bisa reinkarnasi?

Ajaran monoteisme tidak meyakini siklus berulang didalam sangkar kehidupan yang sama. Makanya pada suatu hadis Rasulullah mengatakan kalau apa yang disebut akhirat dengan surga maupun nerakanya sebenarnya sesuatu yang tidak pernah dapat diimajinasikan oleh manusia yang ada di dunia ini. Dengan kata lain, maka manusia itu harus Islam (tunduk dan berserah diri ) karena dalam banyak hal sangat lemah dan fakir di hadapan Dia Yang maha Tinggi yang kemudian disebut Allah, sebagai Tuhan Yang Maha Esa sebagai keyakinan dan keimanan.

Kenapa banyak orang mengalami gejala yang kemudian sering dinisbahkan seperti reinkarnasi? Kesan yang nampak seperti reinkarnasi itu muncul sesungguhnya karena di wilayah paling murni jiwa seluruh makhluk bersifat satu dan universal. Di dalam al-Qur'an hal ini tersirat dalam QS 6:98 sebagai Jiwa yang satu.

Jiwa yang satu bukanlah jiwa yang berbeda tetapi jiwa murni yang menyaksikan ke-Esa-an Tuhan (QS 7:172). Dalam istilah Islam tasawuf falsafi sering disebut Hakikat Muhammad atau Nur Muhammad. Dalam ajaran Yunani dikenal juga istilah yang merujuk pada universalitas ketunggalan ini yaitu Logos atau Monad.

Setiap manusia yang menyucikan jiwanya akan mencapai suatu tingkat pemahaman yang identik. Hanya saja, manusia yang menyucikan jiwa umumnya akan menarik kesimpulan yang berbeda-beda karena hawa nafsunya masih dapat mempengaruhi ruh murninya (Nur Muhammad, Logos). Besarnya pengaruh ini tergantung pada keihlasan Allah pada si hamba. Jadi tidak bisa diupayakan dengan ego diri makhluk.

Pengaruh nafsu ini semakin besar kalau orang mempunyai niat yang kurang tulus saat melakukan penyucian jiwa. Nafsu ini yang sebenarnya mewarnai bentuk penyaksian saat penyucian jiwa dimana potensi dasar manusia sebagai makhluk yang berbeda dengan Penciptanya (Laisya Kamitslihi Syaiun) dinyatakan dengan Kun Fa Yakuun dan Basmalah dan semua takdir dan ketentuan hidupnya dipastikan. ( Di akhirat, misalnya di tempat yang bernama Surga, bentuk kemanusiaan kita tetap menjadi makhluk yang masih bisa membedakan nikmat. Jadi Laisya Kamitslihi Syaiun tetap berlaku. Jadi di surga kita bukan menjadi Tuhan ataupun Nur Muhammad. Makanya masih tetap ada hirarki dalam surga maupun neraka).

Dalam setiap penyucian jiwa orang akan mempunyai pengalaman yang berbeda meskipun intinya sama yaitu penyaksi ke-Esa-an namun bentuk penampilannya sesuai dengan prasangka hamba pada-Nya. Jadi sesuai dengan potensi dan kecondongan hamba yg sudah ditakdirkan. Jadi, seorang seniman yang menyucikan jiwa akan mengatakan pandangan ruhaninya dengan kecondongan pada potensinya sebagai seniman (misal Rumi), yang tentara juga akan mengatakan pandangannya sesuai dengan potensi dasarnya (misal Syekh Nuri dari Turki yang bukunya banyak beredar di Indonesia), yang fisikawan juga sama akan menguraikan dengan potensinya, orang yang berkecondongan ateis pun malah berprasangka dengan ateismenya (jadi mungkin Ateis pun termasuk nama-nama Tuhan juga?), dan demikian juga manusia lainnya.

Meskipun demikian, apa yang dinyatakan dalam keadaan penyucian jiwa dalam diri seseorang sesungguhnya sesungguhnya Jiwa Yang Satu yang menyaksikan ke-Esa-an yaitu Nur Muhammad. Sehingga kalau pemahaman masing-masing orang semakin dihaluskan akan muncul kesan kesamaan pengalaman. Tapi jelas akan terungkapkan secara berbeda karena potensi segalanya beda, usia beda, zamannya beda, kecondongannya beda, lingkungan dan situasi sospolnya beda, dan berbagai perbedaan lainnya

Orang yang menyucikan jiwa dan kondisinya mencapai kondisi maqom (maksudnya: stasiun ruhani) Nabi Muhamamd SAW akan memunculkan kesan seolah-olah dia Muhammad (tapi tentu bukan Muhammad yag lahir tahun 571 M), demikian juga yang berada di tingkat maqom Nabi Isa seolah-olah dia reinkarnasi Nabi Isa,yang berada di tingkat maqom Hitler juga bisa merasa seolah-olah ia menjadi Hitler, dan seterusnya. Fenomena ini bukan reinkarnasi. Tapi fenomena dari jiwa yang berada dalam tingkat ruhani yang identik dengan potensi kecondongannya saat itu yaitu PURIFIKASI DENGAN GRASTULASI. Jadi kesan menjadi Muhammad, Isa, Musa, Hitler atau manusia lainnya yang pernah ada sebenarnya kesan dari nafsunya sendiri yang tiba-tiba mendominasi (dari proses grastulasi) atau kecondonganya yang tersisa yang sifatnya unik. Makanya ada yang benar dan ada yang akhirnya tersesat karena mengikuti IDOLA batinnya yang boleh jadi bukan Allah tapi nafsu keduniawiannya (IDOLA batin kalau mengikuti jalur Psikoanalisa Freudian mungkin istilah2nya beda juga yaitu id-ego-superego).

Dalam bentuk lahir maupun batin identitas orang yang mengalami penyucian jiwa yang benar, dengan panduan yang benar sejatinya identitas ketunggalan yang disebut Jiwa Yang Satu alias Nur Muhammad alias Penyaksi Ke-Esa-an Allah. Karena itu penyucian jiwa di Islam sejatinya pemuliaan akhlak manusia (bukan hasil reinkarnasi) yang tercela menjadi akhlak Muhammad SAW. Ini bukan reinkarnasi tapi aktualitas kemurnian Jiwa dari manusia yang unik dengan tanggung jawabnya sampai paling murni yaitu Nur Muhammad sebagai Penyaksi ke-Esa-an Tuhan. Jadi, beda sekali dengan pengertian Reinkarnasi ala Budhisme maupun Konfusius yang bisa turun temurun mewariskan kebaikan maupun kejahatan. Setiap kebaikan dan kejahatan manusia di masa hidupnya sejatinya akan menjadi tanggung jawab masing-masing. Jadi, bisa Anda bayangkan kalau kita membuat fitnah di hari ini maka seluruh dampak fitnah itu akan menjadi tanggungan Anda sendiri sepanjang zaman karena konsekuensi dari tindakannya itu. Kalau misalnya pengaruh jelek fitnah itu menimpa keturunannya, maka hal itu bukan dosa turunan dari si tukang fitnah. Namun, justru orang yang menganiaya turunan tukang fitnah itu yang berdosa karena menimpakan kesalahan masa lalu di masa kini. Paling banter dosa yang dialami pemfitnah sebenarnya muncul sebagai nama jelek saja. Demikian juga, seorang wanita yang melakukan adegan porno di abad digital akan terancam menjadi bulan-bulanan dan olok-olokan sepanjang zaman bagi semua manusia selama teknologi digital masih ada. Bahkan oleh anak cucunya sendiri!

Tapi tetap saja itu bukan reinkarnasi hanya sekedar efek sampingan dari perbuatannya sendiri. Kalaupun nanti ada cucunya yang merasa bersalah, maka mungkin aja bisa terjadi bahwa seluruh turunan bintang porno itu merasa minder. Jika tidak ada yang membantunya untuk mengatasi masalah psikisnya, iapun akan merasa bersalah dan berdosa, bahkan terpuruk. Mungkin cucu bintang film porno itu malah menjadi pelacur, atau bahkan musnah sama sekali karena tidak dapat bertahan hidup. Siapa yang berdosa dalam hal ini, maka masyarakat yang menghukum turunan bintang porno itu yang justru berdosa karena menghalangi bahkan menistakan turunan si bintang porno. Karena itu Islam tidak mengenal dosa turunan (KRISTEN) maupun reinkarnasi. Maka, dalam kehidupan boleh jadi seorang alim muncul dari seorang perampok. Dan boleh jadi seorang kiai pun menjadi perampok. Atau boleh jadi anak kiai jadi maling, dan anak maling malah jadi kiai. Ini hukum Tuhan yang sifatnya tidak teramalkan dan bisa terjadi pada semua manusia dan bukan reinkarnasi.

Ajaran Islam sesungguhnya menekankan manusia untuk bermanfaat sesuai dengan zamannya (kekiniannya) dan kalau memang mampu dan berpotensi manfaatnya bisa dirasakan di masa depan bagi manusia lainnya. Tentunya dengan melihat masa lalu sebagai pelajaran dan hikmah. Dan melihat masa depan sebagai bagian dari misi untuk menyaksikan, menyatakan, dan mengaktualkan Jamal dan Jamal Allah dengan Laa ilaaha illaa Allah Muhammadurrasulullah sebagai amanat untuk menghadirkan kemuliaan dan kesucian Tuhan Yang Maha Tinggi. Karena itu perlu keyakinan yang pasti meskipun keyakinan itu bagi manusia sejatinya baru sebatas TAKSIRAN TERBAIK IBU JARI DAN TELUNJUKNYA. Dan semua itu pokok pangkalnya pada pengolahan akhlak manusia supaya pantas disebut mulia dan pantas sebagai wakil Tuhan dengan mengelola sistem kehidupannya, dengan sebaik-baiknya dan sesadar-sadarnya. Dan kesadarn tertinggi itu pun mentok ebagai adab dan sikap hamba di hadapan Allah yaitu Islam dengan naungan Bismillahir al-Rahmaan al-Rahiim.

Pengolahan akhlak manusia tidak lain adalah mengelola nafsunya, mengendalikannya supaya tidak melampaui al-Mizan yang menjadi ketetapan. Kalau nafsu ini tidak terkedali, maka tidak mengherankan kalau orang-orang yang belakangan ini mengaku Rosul pun bisa keliru menafsirkan pengalamannya. Ketersesatannya dikarenakan kecondongan nafsunya keliru mempersepsikan Nabi Muhammad SAW atau malaikat Jibril yang menjadi idolanya (disini kita melihat kalau sosok seorang Nabi pun bisa menjadi penghalang untuk sampai kepada Allah) seperti LIA AMINUDIN, AHMAD MUSADEK, MIRZA GULAM AHMAD, dll. Nafsupun bergolak, sehingga was-was pun menelusup, ghurur dan tipu dayapun menyekap manusia didalam tipu daya setan dan iblis. Maka jebull ngakulah ia Rosul karena egonya balik ke dunia dan berprasangka demikian dan ia melepaskan diri dari Pertolongan Allah.

Karena itu dalam banyak pengertian Reinkarnasi yang saya baca di beberapa tempat, Islam tidak mengenal konsep reinkarnasi. Reinkarnasi yang asal usulnya bisa dilacak sejak zaman Phytagoras tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Islam yaitu adanya Rahmat bagi semua manusia sebagai bani Adam sebagai suatu identitas yang majemuk dengan tanggung jawab masing-masing sesuai dengan zamannya (zaman ini bukan berarti sebatas umur kita saja, tapi merentang pada periode ratusan tahun, bahkan ribuan tahun. Sejauh mana dampak pengaruhnya, sejauh mana penafsiran kita tentang realitas berlaku. Jadi, selama kita masih menggunakan sistem dasar bilangan, huruf, dan simbol geometrik maupun abstrak yang sama, dan kompatible maka sejauh itulah Pengetahuan Tauhid dengan Islam berlaku).

Di dalam ajaran Islam antara makhluk dan Tuhan itu berbeda. Dan diciptakannya berbagai makhluk dengan berbagai bentuk tubuh, karakter dan sifat di alam lahiriah bukan dimaksudkan menjalani hukum yang berkesinambungan sebagai identitas yang sama, tapi terus berkembang untuk menyatakan Jamal dan Jalal Allah dengan Laa illahaa illaa Allah Muhammdurrasulullah dengan identitas yang berbeda sebagai makhluk.

Hidup di dunia bukanlah suatu karma akibat moyang kita berbuat salah. Tak ada dosa yang diwariskan dalam Islam yang ada adalah karakter dan akhlak manusia yang BISA DIUBAH DAN DIPERBAIKI UNTUK MENJADI MULIA sesuai potensinya dimana potensi itu sebenarnya mewakili asma, sifat dan perbuatan yang dinyatakan Allah eksis pada wakilnya di dunia yaitu anak cucu Bani Adam.

Nah, proses penyucian jiwa serta kontinuitas Kekuasaan Tuhan dalam ajaran Islam bukan reinkarnasi meskipun nampak seperti reinkarnasi. Bahkan, prosesnya lebih tepat disebut regenerasi dengan berkembang biak atas dasar Cinta Ilahi (Bismillahir al-Rahmaan al-Rahiim). Jadi jangan sampai dikelirukan konsep-konsep agama Islam yang nampak mirip dengan konsep reinkarnasi yang condong pada sifat lepas tanggung jawab dan pembenaran karena orang akan beranggapan menjadi benar karena “saya titisan ini atau itu, saya titisan dewa , raja dll” (Sebenarnya bukan titisan tapi tetesan ). Saya ini turunan bla..bla..bla….
J

Di Indonesia, selain dipengaruhi Budhisme, tafsir tentang Reinkarnasi didalam agama Islam juga dipengaruhi ajaran Konfusius dimana keluarga sendiri sangat dipentingkan. Ini mungkin tidak mengherankan karena Indonesia dulu merupakan bagian dari hegemoni China. Meskipun menurut beberapa literatur sejarah, China yang masuk ke Indonesia secara besar-besaran semasa penjelajahan Chengho. Namun ajaran Islam Chengho nampaknya telah mengalami sinkretisme keyakinan dengan ajaran kebijakan dari China seperti Mohisme, Konfusius, Taoisme, Budha, dan lain-lainnya (simak buku Karena Armstrong : The Great Transformation untuk mengetahui sejarah dan perbandingan berbagai ajaran agama maupun kebajikan).

Secara prinsipil sebenarnya pengertian reinkarnasi sudah menyimpang dari ajaran Islam yang tidak memandang keturunan, warna, kulit dan atribut materialistik lainya. Yang dipandang Allah dalam ajaran Islam hanyalah ketaqwaan seseorang. Tak lebih dari itu. Jadi, meskipun secara genetik manusia dipengaruhi oleh perilaku moyangnya (genetikanya) tapi tanggung jawabnya tetap masing-masing sesuai dengan ruang-waktu dimana ia dilahirkan. Nah , di Al Qur'an masalah tanggung jawab sendiri-sendiri di hadapan Allah ini sudah jelaskan.

Kalau kita percaya bahwa reinkarnasi juga ada dalam ajaran Islam, maka ada banyak faktor mendasar di dalam Islam akan gugur. Ini kalau pengertian Reinkarnasi secara tradisional diterapkan yaitu ruh manusia sebagai jiwa yang memberikan daya hidup mendapat jasad berdaging baru. Salah satunya yaitu konsep Iman dan Taqwa yang dinisbahkan bagi Umat Islam dan tidak bergantung pada asal usulnya, warna kulit, dan tentunya perbuatan moyangnya.

Konsep Surga dan Neraka juga dalam banyak hal akan berbeda bahkan boleh jadi sama sekali tidak ada surga dan neraka kecuali kalau kita sepakat surga dan neraka itu hanya ada di Bumi. Dengan kata lain konsep Akhirat juga gugur.

Umat Islam malah nanti akan berkecondongan materialistik dan menjadi pemburu dunia seperti yang terjadi dewasa ini. Bahkan dalam taraf yang parah akan muncul suatu kejanggalan konsep amaliah maupun pahala. Misalnya :

• Wah enak ya jadi Koruptor yang tidak ketahuan. 7 turunan ia bisa kaya sampai ke anak cucunya.

• Kasian bener yang dilahirkan jadi anak-anak yang bapaknya di cap PKI, seumur hidup direinkarnasikan Allah menjadi keluarga yang tertekan terus oleh penguasa yang menindasnya.

Malang benar orang yang direinkarnasikan menjadi kodok, karena tak ada ukuran yang menentukan kapan ia harus bereinkarnasi menjadi bukan kodok?!!!!

• Orang dengan seenaknya dapat menganggap diri terbaik dan tidak menghargai manusia lainnya yang dianggap lebih rendah, hina atau bahkan yang cacat fisik dan mental (ini mirip orang Sparta di Film 300 kali). Fanatisme tanpa ilmu, Rasialisme, sampai fasisme ala Hitler bisa jadi muncul ketika pengertian reinkarnasi ditafsirkan dengan cara yang lebih egois. Bahkan Hitler dengan Nazi Jermannya nampaknya meyakini reinkarnasi sehingga ia mengimpikan Ras Aryan yang unggul dengan benderanya mencontek simbologi Swastika (SS).

• Orang tidak boleh membaca dan menafsirkan al-Qur’an karena bukan turunan kiai.

• Pengkultusan kepada seorang Kyai atau taqlid buta, ucapan yang dikeluarkan oleh kyai (oknum) lebih dipercayai daripada hadits Rasulullah.

• Membuat pasukan berani mati untuk membela seorang Kyai yang walaupun sepak terjangnya telah merugikan agama Islam sendiri karena dianggap sebagai seorang wali atau orang yang bersemayam didadanya seorang malaikat.

• Ajaran Islam lain tidak sah karena bukan Ahlul Bait.

• Dan mungkin akan banyak lagi dasar-dasar ajaran Islam yang akan saling kontradiktif dan tidak konsisten. Pokoknya banyak prinsip yang akan berubah, dan pastinya adalah jadi cape dech



Jadi reinkarnasi bukan merupakan Ajaran Islam untuk mengenal dan sampai kepada Allah SWT. Meskipun di AlQur’an di beberapa ayatnya nampak seperti fenomena reinkarnasi sebenarnya itu bukan. Memaksakan istilah reinkarnasi pada fenomena yang berbeda dari apa yang dimaksudkan sebagai reinkarnasi di ajaran aslinya, yaitu Phytagoras dan Budhisme, untuk menafsirkan apa yang dijelaskan di dalam Al Qur’an akan menimbulkan kekeliruan persepsi dan pemahaman. Bahkan kalau semakin liar dapat menyebabkan runtuhnya akidah Islam. Saat ini memang zaman dimana istilah-istilah tertentu digunakan tidak pada tempatnya hanya untuk memasarkan suatu gagasan menjadi produk. Jadi, jangan heran kalau banyak orang menggunakan nama dan istilah yang nampak “Wah” tidak pada tempatnya yang pada akhirnya malah menimbulkan distorsi persepsi maupun pemahaman. Kalau gak percaya, jalan-jalan aja ke toko buku , lihat judul buku-buku kotemporer baru, baca isinya dan renungkan sendiri. Ternyata isinya kebanyakan ……..ee(menurut kamus versi saya, ee adalah sampah, dll)

thanks

wassalam

April 14, 2009 2:10 AM

No comments: