Munculnya kelompok liberal di Indonesia diangap sebagai tanggapan otentik dalam mengapresiasi gagasan-gagasan liberalisme Barat. Kelompok liberal ini berkembang menjadi jaringan yang siap menjalar ke seluruh daerah dan ke setiap bagian tubuh kaum Muslim di Indonesia. Ibarat sel kanker, kelompok ini telah tumbuh membentuk jaringan yang siap menjangkiti seluruh tubuh kaum Muslim. Tulisan ini akan mengurai beberapa keganjilan metodologi kelompok liberal itu.
Ideologi Kapitalisme Sekular Sebagai Pijakan
Satu hal yang menonjol dari kelompok liberal adalah keyakinan mereka atas ideologi kapitalis yang berpangkal pada akidah sekularisme. Menurut Luthfi Assyaukanie, kontributor JIL, dengan sekularisme—istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh George Jacob Holyoake (1817-1906)—masing-masing agama dan negara memiliki otoritas sendiri-sendiri: negara mengurusi politik sedangkan agama mengurusi gereja. Jadi, sekularisme intinya adalah pemisahan agama dari kehidupan.
Dari akidah ini lahir ide liberalisme (kebebasan: kebebasan beragama [freedom of bilief]; kebebasan berpendapat [freedom of opinion]; kebebasan kepemilikan [freedom of awnership]; dan kebebasan berperilaku/berekspresi [personal freedom]), pluralisme, relativitas kebenaran, dan sebagainya. Akidah ini juga memberikan landasan pada demokrasi dan sistem Kapitalisme.
Keyakinan mereka atas sekularisme dengan seluruh pemikiran turunannya itu dapat kita lihat secara jelas dari ungkapan mereka sendiri. Di antara misi Jaringan mereka (JIL) adalah mengembangkan penafsiran Islam yang liberal sesuai dengan prinsip-prinsip yang mereka anut. Di antaranya: mereka mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka, dan plural (pluralisme); meyakini kebebasan beragama; memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik. Mereka yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan dan bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat dan urusan publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus—demokrasi.
Bagi kelompok liberal, sekularisme sudah menjadi keyakinan (qanâ‘ah) yang mereka yakini kebenarannya. Tampak jelas bahwa mereka telah menjadikan sekularisme dan ideologi Kapitalisme sebagai pijakan. Kenyataan ini sungguh bertolak belakang dengan ciri seorang Muslim. Seorang Muslim sejatinya meyakini kebenaran akidah Islam berikut sistemnya dan menjadikannya sebagai pijakan.
Menilai Islam dengan Pandangan Barat
Sebagai keyakinan mereka, sekularisme mereka fungsikan sebagai standar (maqâyis), yakni sebagai standar untuk menilai dan menimbang ide, konsep, dan pemikiran yang lain. Terhadap ide, konsep, dan pemikiran Islam, maka mereka menilainya dengan standar sekularisme dan ide-ide turunannya itu. Mereka menafsirkan teks-teks syariat dengan standar sekularisme-liberalisme. Tidak aneh jika mereka kemudian menggagas metode penafsiran liberal, pluralis, kontekstual, dan sebutan lainnya; yang pada intinya adalah menafsirkan teks dengan standar sekularisme dan turunannya. Misalnya, Allah Swt. berfirman:
لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)."
(QS al-Baqarah [2]: 256).
Ayat di atas mereka tafsirkan dengan ‘kebebasan beragama’. Artinya, siapapun berhak memilih agama apapun, bahkan untuk tidak beragama sekalipun; juga bahwa seorang Muslim berhak untuk pindah agama, karena setiap orang bebas untuk memilih keyakinannya sendiri. Padahal ayat tersebut hanya menjelaskan tidak bolehnya kita memaksa non-Muslim agar masuk Islam, tidak lebih. Penafsiran mereka itu muncul tidak lain karena mereka telah meyakini kebebasan beragama khas ideologi Kapitalisme sekular.
Ulil Abshor Abdalla, koordinaor JIL, juga pernah menyatakan bahwa Muhammad saw. bukan hanya seorang nabi dan rasul, tetapi juga seorang politikus, namun kebijakan beliau tidak harus ditiru. Ia beralasan, “Bagaimanapun contoh Nabi saw. di Madinah sangat dikondisikan oleh konteks sosial dan sejarah yang spesifik pada saat itu.” Kesimpulan Ulil ini adalah kesimpulan khas sekularisme, yang ‘mengharamkan’ agama berperan formal di ruang publik. Perbuatan dan kebijakan Nabi saw. dalam wilayah publik tidak dianggap sebagai bagian dari tuntunan kenabian yang bersumber dari wahyu, tetapi hanya dianggap sebagai buah kejeniusan beliau.
Fakta dan Sejarah Sebagai Sumber Hukum
Yang tidak kalah ganjilnya adalah metode berpikir mereka yang menjadikan fakta dan sejarah sebagai sumber hukum. Menurut mereka, fakta dan sejarah adalah faktor determinan yang menentukan hukum.
Ini jelas keliru dan sekaligus secara telanjang menunjukkan pola berpikir Barat yang mereka gunakan dalam memandang kaitan fakta dengan hukum. Sebab, dalam falsafah hukum Barat, realitas sosial masyarakat dipandang sebagai ‘ibu kandung’ yang melahirkan nilai dan norma hukum. Salah satu prinsip falsafah hukum Barat adalah: undang-undang adalah anak kandung yang lahir dari situasi dan kondisi sosial masyarakat.
Inti pandangan mereka adalah mengembalikan hukum pada akal manusia. Padahal keputusan akal tidak pernah permanen. Jika hukum dikembalikan pada akal, akan lahir sekian banyak hukum yang bertentangan satu sama lain. Pandangan akal sangat bergantung pada faktor waktu, tempat, pengetahuan, kedewasaan, watak, lingkungan, emosi, dan lain sebagainya. Penilaian akal bisa bertentangan antara satu orang dengan yang lain, antar tempat dan masa. Di samping itu, akal tidak bisa menjangkau pahala dan siksa akhirat.
Semestinya, fakta dan sejarah harus dijadikan obyek yang akan dinilai dan dihukumi dengan standar baku dan benar yang berasal dari Allah. Di sinilah Allah memerintahkan kita untuk menghukumi sesuatu (fakta sosial dan sejarah) dengan apa yang diturunkan-Nya (QS al-Maidah [5]: 48). Artinya, Allah memerintahkan kita menjadikan wahyu (al-Quran dan as-Sunah) sebagai sumber hukum (mashdar al-hukm) dan menjadikan fakta sosial dan sejarah sebagai obyek yang dihukumi (manâth al-hukm).
Menolak Syariat, Tetapi Mencari Pembenaran Lewat Syariat
Dalam upaya mereka menolak syariat, tidak jarang mereka mencari pembenaran lewat syariat, yaitu dengan mengutip teks syariat dan ucapan para ulama, termasuk kaidah ushul fikih, namun setelah mereka pelintir, untuk mendukung dan membenarkan pendapat mereka. Deny JA menunjukkan semangat ini. “Oleh karenanya, sudah saatnya kita mengembangkan satu teologi negara sekular demokratis yang langsung mendapat justifikasi dari prinsip-prinsip Islam.”
Sikap seperti ini ‘terpaksa’ harus ditempuh karena yang menjadi target adalah kaum Muslim yang masih merujuk pada syariat. Jika tidak menggunakan pembenaran lewat syariat, ide-ide mereka akan tertolak, bahkan sebelum menyentuh sasaran.
Sering Stereotip dan Tidak Adil dalam Menilai Islam
Mereka meyakini ide pluralisme bahwa semua agama adalah benar, artinya juga semua syariat agama-agama itu adalah benar. Akan tetapi, mereka sering mengecualikan Islam dan syariatnya.
Luthfi Assyaukanie, ketika membela sekularisme menulis, “Alangkah tidak fair jika kita mengecam sekularisme semata-mata karena kita merujuk pada praktik sekularisme yang salah.” Di sisi lain kita dapati mereka selalu menggunakan penerapan Islam yang buruk/salah (isâ’ah at-tathbîq al-islâm) sebagai alasan mengecam syariat Islam. Semestinya sebuah konsep/ide dinilai dari konsepsi ideal yang bersumber dari rujukan sahnya. Masalahnya, hal ini tidak bisa dilakukan terhadap sekularisme, karena sangat sulit menunjuk secara tegas konsepsi ideal sekularisme, karena ketiadaan sumber rujukan sah atas itu. Sebaliknya, kita akan sangat mudah menunjuk konsepsi ideal dan sumber rujukan Islam yang sah, yaitu al-Quran dan as-Sunnah.
Begitu juga tuduhan mereka yang mengecam penafsiran literal atas teks dan lebih mengedepankan penafsiran kontekstual. Akan tetapi, tidak jarang pula mereka menggunakan penafsiran literal teks jika sekiranya itu bisa dipelintir untuk mendukung pendapat liberal mereka. Ambil contoh penolakan mereka akan Daulah Islam hanya karena dalam al-Quran tidak ada kata dawlah (negara)—sebuah alasan yang sangat literal/tekstual.
Sering Memelintir Teks dan Pendapat Para Ulama
Kelompok liberal sering mengutip teks atau pendapat ulama, yang telah mereka pelintir maknanya agar sesuai dengan ide sekularisme yang mereka yakini. Misal, mereka sering mengutip maqâshid asy-syarî‘ah-nya Imam asy-Syathibi, tetapi mereka pelintir maknanya. Pemeliharaan mereka maknai dengan kebebasan. Hifzh al-‘aql (pemeliharaan akal) mereka maknai dengan kebebasan berpendapat, hifzh ad-dîn (pemeliharaan agama) mereka artikan dengan kebebasan beragama, hifzh al-mâl (pemeliharaan harta) mereka samakan dengan kebebasan kepemilikan, hifzh al-‘irdh (penjagaan kehormatan) mereka maknai dengan kebebasan individu. Walhasil, Imam asy-Syathibi dan maqâshid asy-syarî’ah-nya hanya mereka catut untuk medukung pendapat sekular-liberal mereka. Agaknya, bukan hanya asy-Syathibi yang mereka perlakukan demikian.
Begitu pula mereka sering mengutip ungkapan ad-dîn wâhid wa asy-syarî’ah mukhtalifah (agama itu satu, sedangkan syariat beragam) yang mereka katakan pendapat Ibn ‘Aqil dan dikutip ath-Thabari. Pendapat itu mereka gunakan untuk menolak syariat dan membenarkan pendapat mereka yang liberal dan plural.
Imam ath-Thabari mengutip ungkapan itu bukan dari Ibn Aqil, tetapi dari Ma‘mar yang menuturkan ungkapan Qatadah dalam menafsirkan surat al-Maidah ayat 48: Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami memberikan syariat dan jalan yang terang. Ibn Abi Hatim dan Abu Syaikh menuturkan dari Qatadah maksud tafsir ayat tersebut: Maksudnya adalah jalan dan sunnah-sunnah—bagi Taurat ada syariat, bagi Injil (ada syariat bagi) orang yang menaatinya dan yang bermaksiyat. Akan tetapi, agama adalah satu, yang hanya menerima tauhid dan ikhlas, inilah yang dibawa oleh Rasul.
Maksud ayat tersebut memberitahu kita bahwa bagi setiap agama samawi, Allah memberikan syariat yang tidak sama. Akan tetapi, dalam nash-nash lain dijelaskan bahwa sejak Muhammad diutus, syariat selain Islam sudah tidak berlaku lagi dan tidak akan diterima di sisi Allah. Hanya syariat Islamlah yang berlaku dan diterima di sisi Allah. (QS Ali Imran [3]: 85).
Menjadi Perpanjangan Tangan Barat
Melihat kemiripan ide, konsep, dan perjuangan kelompok liberal, hal itu menyiratkan bahwa mereka tidak lebih merupakan perpanjangan tangan dan aktor yang disutradari oleh Barat.
Proyek Barat sebelumnya untuk mengobok-obok dan menyimpangkan Islam tidak berhasil gemilang. Sebab, aktornya adalah kalangan Barat sendiri yang notabene non-Muslim. Akibatnya, ide dan konsep mereka sulit memasuki ruang pemikiran kaum Muslim. Di sinilah sesungguhnya posisi kelompok liberal itu, yakni untuk melempangkan jalan Barat untuk mempengaruhi kaum Muslim, baik mereka sadar atau tidak. Misi mereka sudah barang tentu mem-Barat-kan kaum Muslim. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.
[Yahya Abdurrahman ]
No comments:
Post a Comment