
Wednesday, October 29, 2008
UU Anti Pornografi & Pornoaksi

Mengapa Mereka Benci RUU Pornografi?



Tuesday, October 28, 2008
Mengungkap Pemikiran Sesat Jaringan Islam Liberal (JIL)

Jaringan Islam Liberal (JIL) adalah sebuah pemikiran yang sifatnya liberal, yang menurut mereka tidak terpaku dengan teks-teks Agama (Al Quran dan Hadis), tetapi lebih terikat dengan nilai-nilai yang terkandung dalam teks-teks tersebut. Dalam implementasinya pemikiran ini dapat disebut meninggalkan teks sama sekali, dan hanya menggunakan rasio dan selera belaka.
Ditinjau dari sudut kebahasaan. penggandengan antara kata "Islam" dan "Liberal" itu tidak tepat. Sebab Islam itu artinya tunduk dan menyerahkan diri kepada Allah, sedangkan liberal artinya bebas dalam pengertian tidak harus tunduk kepada ajaran Agama (al-Qur'an dan Hadis), Oleh karena itu, pemikiran liberal sebenarnya lebih tepat disebut "Pemikiran Iblis" dari pada "Pemikiran Islam", karena makhluk pertama yang tidak taat kepada Allah adalah Iblis.
Lebih jelasnya, di bawah ini kami cantumkan point-point pemikiran kelompok JIL tersebut yang kami kutip dari berbagai sumber :
- Umat Islam tidak boleh memisahkan diri dari umat lain, sebab munusia adalah keluarga universal yang memiliki kedudukan yang sederajat. Karena itu larangan perkawinan antara wanita muslimah dengan pria non muslim sudah tidak relevan lagi
- Produk hukum Islam klasik (fiqh) yang membedakan antara muslim dengan non muslim harus diamandemen berdasarkan prinsip kesederajatan universal manusia.
- Agama adalah urusan pribadi, sedangkan urusan Negara adalah murni kesepakatan masyarakat secara demokratis.
- Hukum Tuhan itu tidak ada. Hukum mencuri, zina, jual-beli, dan pernikahan itu sepenuhnya diserahkan kepada umat Islam sendiri sebagai penerjemahan nilai-nilai universal.
- Muhammad adalah tokoh histories yang harus dikaji secara kritis karena beliau adalah juga manusia yang banyak memiliki kesalahan.
- Kita tidak wajib meniru rasulllah secara harfiah. Rasulullah berhasil menerjemahkan nilai-nilai Islam universal di Madinah secara kontekstual. Maka kita harus dapat menerjemahkan nilai itu sesuai dengan konteks yang ada dalam bentuk yang lain.
- Wahyu tidak hanya berhenti pada zaman Nabi Muhammad saja (wahyu verbal memang telah selesai dalam bentuk al-Qur'an). Tapi wahyu dalam bentuk temuan ahli fikir akan terus berlanjut, sebab temuan akal juga merupakan wahyu karena akal adalah anugerah Tuhan.
- Karena semua temuan manusia adalah wahyu, maka umat Islam tidak perlu membuat garis pemisah antara Islam dan Kristen, timur dan barat, dan seterusnya.
- Nilai islami itu bisa terdapat di semua tempat, semua agama, dan semua suku bangsa. Maka melihat Islam harus dilihat dari isinya bukan bentuknya.
- Agama adalah baju, dan perbedaan agama sama dengan perbedaan baju. Maka sangat konyol orang yang bertikai karena perbedaan baju (agama). semua agama mempunyai tujuan pokok yang sama, yaitu penyerahan diri kepada Tuhan.
- Misi utama Islam adalah penegakan keadilan. Umat Islam tidak perlu memperjuangkan jilbab, memelihara jenggot, dan sebagainya.
- Memperjuangkan tegaknya syariat Islam adalah wujud ketidakberdayaan umat Islam dalam menyelesaikan masalah secara arasional. Mereka adalah pemalas yang tidak mau berfikir.
- Orang yang beranggapan bahwa semua masalah dapat diselesaikan dengan syariat adalah orang kolot dan dogmatis.
- Islam adalah proses yang tidak pernah berhenti, yaitu untuk kebaikan manusia. Karena keadaan umat manusia itu berkembang, maka Agama (Islam) juga harus berkembang dan berproses demi kebaikan manusia. Kalau Islam itu diartikan sebagai paket sempurna seperti zaman rasulullah, maka itu adalah fosil Islam yang sudah tidak berguna lagi.
Itulah beberapa pemikiran pokok dari jaringan Islam Liberal (JIL).
Selanjutnya sebelum kita menentukan sikap kita terhadap kelompok tersebut, kita perlu tahu apakah pemikiran liberal itu dibenarkan al-Qur'an dan Hadis. Oleh karena itu kami akan mencoba melihat dari dua hal, yang pertama adalah nama kelompok itu sendiri, dan yang kedua substansi pemikiran-pemikirannya.
Ditinjau dari sudut kebahasaan. penggandengan antara kata "Islam" dan "Liberal" itu tidak tepat. Sebab Islam itu artinya tunduk dan menyerahkan diri kepada Allah, sedangkan liberal artinya bebas dalam pengertian tidak harus tunduk kepada ajaran Agama (al-Qur'an dan Hadis), Oleh karena itu, pemikiran liberal sebenarnya lebih tepat disebut "Pemikiran Iblis" dari pada "Pemikiran Islam", karena makhluk pertama yang tidak taat kepada Allah adalah Iblis.
Sementara dari sisi substansinya, seperti yang terlihat pada point-point yang tersebut di atas, sebut saja misalnya pendapat mereka yang membolehkan lelaki yahudi (non muslim) menikahi wanita muslimat. Pemikiran iblis liberal ini tidak mendasarkan sama sekali terhadap al-Qur'an dan Hadis. Ia hanya mendasarkan pemikirannya kepada rasio dan selera. Padahal al-Qur'an dengan tegas mcnyatakan bahwa wanita muslimat tidak halal dinikahi lelaki kafir dan lelaki kafir tidak halal menikahi wanita muslimat.
Demikian penegasan Allah dalam Surat al-Mumtahanah ayat 10, Dalam hal ini, ahli tafsir kondang al-lmam Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir al-Qur'a'n al-Adzim menyatakan bahwa ayat inilah yang mengharamkan wanita muslimat dinikahi orang musyrikin (non muslim}. Demikian pula yata 5 Surat al-Maidah. Keharaman ini juga ditegaskan dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh al-lmam al-Thabari. Sementara itu, para shahabat dan ulama sejak zaman rasulullah hingga sekarang tidak ada yang menghalalkan pernikahan lelaki non muslim dengan muslimah.
Oleh karena itu, pemikiran kelompok liberal ini bertentangan dengan al-Quran, Hadis, dan ijma' (consensus) ulama.
Selanjutnya, bagaimana sikap kita terhadap mereka?
Jawabannya adalah:
Kita jangan sekali-kali mengikuti pemikiran-pemikiran mereka, karena al-Qur'an menegaskan dalam Surat al-Ahzab ayat 36,
"Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan siapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya, maka sungguh dia telah tcrsesat dengan kesesatan yang nyata".
Pengertian "faqad dhalla dhalalan mubina" (sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata) ditafsiri dengan ayat 63 Surat al-Nur,
"...maka orang-orang yang menyalahi perintah rasul-Nya hendaknya mereka takut akan mendapat cobaan atau ditimpa azab yang pedih''.
Orang yang tersesat dengan kesesatan yang nyata akan ditimpa azab yang sangat pedih, dan siksa yang pedih tidak ada lagi kecuali neraka. Maka mengikuti pemikiran liberal dapat menyesatkan dengan kesesatan yang nyata, dan bahkan dapat menyebabkan orang yang bersangkutan kafir, misalnya apabila ia menentang al-Qur'an dan atau Hadis.
Kepada orang yang mengikuti pemikiran liberal ini, kita menganjurkan agar mereka segera bertobat dan kembali pada jalan yang benar. Apabila mereka mau bertobat, maka mereka kembali menjadi orang-orang Islam. Namun apabila mereka tidak mau bertobat, maka hukum Islam menegaskan bahwa orang-orang yang murtad wajib dihukum mati.
Pemikiran Nyeleneh, Ah Anda Memang Jagonya!



Artikel saudara Ulil Abshar Abdallah (selanjutnya disingkat UAA) pada 7-01-2008 dengan judul “Doktrin-Doktrin Yang Kurang Perlu dalam Islam” dalam situs JIL adalah tidak mencengangkan. Memang demikianlah adanya saudara kita,UAA. Ia telah memposisikan dirinya (entah memang sengaja atau tidak) melawan arus apa yang sudah menjadi pemahaman umum umat Islam. Dalam artikelnya tersebut, UAA memberi 11 doktrin yang tidak perlu. Penulis hanya menyoroti poin ke-3 dari artikel UAA, karena poin ini sedang hangat terjadi di Indonesia, baik itu kasus Ahmad Musaddiq yang mengaku sebagai Nabi maupun kasus Lia Eden dan Ahmadiyyah.
Kritik Terhadap Metodologi Kelompok Liberal




Munculnya kelompok liberal di Indonesia diangap sebagai tanggapan otentik dalam mengapresiasi gagasan-gagasan liberalisme Barat. Kelompok liberal ini berkembang menjadi jaringan yang siap menjalar ke seluruh daerah dan ke setiap bagian tubuh kaum Muslim di Indonesia. Ibarat sel kanker, kelompok ini telah tumbuh membentuk jaringan yang siap menjangkiti seluruh tubuh kaum Muslim. Tulisan ini akan mengurai beberapa keganjilan metodologi kelompok liberal itu.
Ideologi Kapitalisme Sekular Sebagai Pijakan
Satu hal yang menonjol dari kelompok liberal adalah keyakinan mereka atas ideologi kapitalis yang berpangkal pada akidah sekularisme. Menurut Luthfi Assyaukanie, kontributor JIL, dengan sekularisme—istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh George Jacob Holyoake (1817-1906)—masing-masing agama dan negara memiliki otoritas sendiri-sendiri: negara mengurusi politik sedangkan agama mengurusi gereja. Jadi, sekularisme intinya adalah pemisahan agama dari kehidupan.
Dari akidah ini lahir ide liberalisme (kebebasan: kebebasan beragama [freedom of bilief]; kebebasan berpendapat [freedom of opinion]; kebebasan kepemilikan [freedom of awnership]; dan kebebasan berperilaku/berekspresi [personal freedom]), pluralisme, relativitas kebenaran, dan sebagainya. Akidah ini juga memberikan landasan pada demokrasi dan sistem Kapitalisme.
Keyakinan mereka atas sekularisme dengan seluruh pemikiran turunannya itu dapat kita lihat secara jelas dari ungkapan mereka sendiri. Di antara misi Jaringan mereka (JIL) adalah mengembangkan penafsiran Islam yang liberal sesuai dengan prinsip-prinsip yang mereka anut. Di antaranya: mereka mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka, dan plural (pluralisme); meyakini kebebasan beragama; memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik. Mereka yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan dan bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat dan urusan publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus—demokrasi.
Bagi kelompok liberal, sekularisme sudah menjadi keyakinan (qanâ‘ah) yang mereka yakini kebenarannya. Tampak jelas bahwa mereka telah menjadikan sekularisme dan ideologi Kapitalisme sebagai pijakan. Kenyataan ini sungguh bertolak belakang dengan ciri seorang Muslim. Seorang Muslim sejatinya meyakini kebenaran akidah Islam berikut sistemnya dan menjadikannya sebagai pijakan.
Menilai Islam dengan Pandangan Barat
Sebagai keyakinan mereka, sekularisme mereka fungsikan sebagai standar (maqâyis), yakni sebagai standar untuk menilai dan menimbang ide, konsep, dan pemikiran yang lain. Terhadap ide, konsep, dan pemikiran Islam, maka mereka menilainya dengan standar sekularisme dan ide-ide turunannya itu. Mereka menafsirkan teks-teks syariat dengan standar sekularisme-liberalisme. Tidak aneh jika mereka kemudian menggagas metode penafsiran liberal, pluralis, kontekstual, dan sebutan lainnya; yang pada intinya adalah menafsirkan teks dengan standar sekularisme dan turunannya. Misalnya, Allah Swt. berfirman:
لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ
Ayat di atas mereka tafsirkan dengan ‘kebebasan beragama’. Artinya, siapapun berhak memilih agama apapun, bahkan untuk tidak beragama sekalipun; juga bahwa seorang Muslim berhak untuk pindah agama, karena setiap orang bebas untuk memilih keyakinannya sendiri. Padahal ayat tersebut hanya menjelaskan tidak bolehnya kita memaksa non-Muslim agar masuk Islam, tidak lebih. Penafsiran mereka itu muncul tidak lain karena mereka telah meyakini kebebasan beragama khas ideologi Kapitalisme sekular.
Ulil Abshor Abdalla, koordinaor JIL, juga pernah menyatakan bahwa Muhammad saw. bukan hanya seorang nabi dan rasul, tetapi juga seorang politikus, namun kebijakan beliau tidak harus ditiru. Ia beralasan, “Bagaimanapun contoh Nabi saw. di Madinah sangat dikondisikan oleh konteks sosial dan sejarah yang spesifik pada saat itu.” Kesimpulan Ulil ini adalah kesimpulan khas sekularisme, yang ‘mengharamkan’ agama berperan formal di ruang publik. Perbuatan dan kebijakan Nabi saw. dalam wilayah publik tidak dianggap sebagai bagian dari tuntunan kenabian yang bersumber dari wahyu, tetapi hanya dianggap sebagai buah kejeniusan beliau.
Fakta dan Sejarah Sebagai Sumber Hukum
Yang tidak kalah ganjilnya adalah metode berpikir mereka yang menjadikan fakta dan sejarah sebagai sumber hukum. Menurut mereka, fakta dan sejarah adalah faktor determinan yang menentukan hukum.
Ini jelas keliru dan sekaligus secara telanjang menunjukkan pola berpikir Barat yang mereka gunakan dalam memandang kaitan fakta dengan hukum. Sebab, dalam falsafah hukum Barat, realitas sosial masyarakat dipandang sebagai ‘ibu kandung’ yang melahirkan nilai dan norma hukum. Salah satu prinsip falsafah hukum Barat adalah: undang-undang adalah anak kandung yang lahir dari situasi dan kondisi sosial masyarakat.
Inti pandangan mereka adalah mengembalikan hukum pada akal manusia. Padahal keputusan akal tidak pernah permanen. Jika hukum dikembalikan pada akal, akan lahir sekian banyak hukum yang bertentangan satu sama lain. Pandangan akal sangat bergantung pada faktor waktu, tempat, pengetahuan, kedewasaan, watak, lingkungan, emosi, dan lain sebagainya. Penilaian akal bisa bertentangan antara satu orang dengan yang lain, antar tempat dan masa. Di samping itu, akal tidak bisa menjangkau pahala dan siksa akhirat.
Semestinya, fakta dan sejarah harus dijadikan obyek yang akan dinilai dan dihukumi dengan standar baku dan benar yang berasal dari Allah. Di sinilah Allah memerintahkan kita untuk menghukumi sesuatu (fakta sosial dan sejarah) dengan apa yang diturunkan-Nya (QS al-Maidah [5]: 48). Artinya, Allah memerintahkan kita menjadikan wahyu (al-Quran dan as-Sunah) sebagai sumber hukum (mashdar al-hukm) dan menjadikan fakta sosial dan sejarah sebagai obyek yang dihukumi (manâth al-hukm).
Menolak Syariat, Tetapi Mencari Pembenaran Lewat Syariat
Dalam upaya mereka menolak syariat, tidak jarang mereka mencari pembenaran lewat syariat, yaitu dengan mengutip teks syariat dan ucapan para ulama, termasuk kaidah ushul fikih, namun setelah mereka pelintir, untuk mendukung dan membenarkan pendapat mereka. Deny JA menunjukkan semangat ini. “Oleh karenanya, sudah saatnya kita mengembangkan satu teologi negara sekular demokratis yang langsung mendapat justifikasi dari prinsip-prinsip Islam.”
Sikap seperti ini ‘terpaksa’ harus ditempuh karena yang menjadi target adalah kaum Muslim yang masih merujuk pada syariat. Jika tidak menggunakan pembenaran lewat syariat, ide-ide mereka akan tertolak, bahkan sebelum menyentuh sasaran.
Sering Stereotip dan Tidak Adil dalam Menilai Islam
Mereka meyakini ide pluralisme bahwa semua agama adalah benar, artinya juga semua syariat agama-agama itu adalah benar. Akan tetapi, mereka sering mengecualikan Islam dan syariatnya.
Luthfi Assyaukanie, ketika membela sekularisme menulis, “Alangkah tidak fair jika kita mengecam sekularisme semata-mata karena kita merujuk pada praktik sekularisme yang salah.” Di sisi lain kita dapati mereka selalu menggunakan penerapan Islam yang buruk/salah (isâ’ah at-tathbîq al-islâm) sebagai alasan mengecam syariat Islam. Semestinya sebuah konsep/ide dinilai dari konsepsi ideal yang bersumber dari rujukan sahnya. Masalahnya, hal ini tidak bisa dilakukan terhadap sekularisme, karena sangat sulit menunjuk secara tegas konsepsi ideal sekularisme, karena ketiadaan sumber rujukan sah atas itu. Sebaliknya, kita akan sangat mudah menunjuk konsepsi ideal dan sumber rujukan Islam yang sah, yaitu al-Quran dan as-Sunnah.
Begitu juga tuduhan mereka yang mengecam penafsiran literal atas teks dan lebih mengedepankan penafsiran kontekstual. Akan tetapi, tidak jarang pula mereka menggunakan penafsiran literal teks jika sekiranya itu bisa dipelintir untuk mendukung pendapat liberal mereka. Ambil contoh penolakan mereka akan Daulah Islam hanya karena dalam al-Quran tidak ada kata dawlah (negara)—sebuah alasan yang sangat literal/tekstual.
Sering Memelintir Teks dan Pendapat Para Ulama
Kelompok liberal sering mengutip teks atau pendapat ulama, yang telah mereka pelintir maknanya agar sesuai dengan ide sekularisme yang mereka yakini. Misal, mereka sering mengutip maqâshid asy-syarî‘ah-nya Imam asy-Syathibi, tetapi mereka pelintir maknanya. Pemeliharaan mereka maknai dengan kebebasan. Hifzh al-‘aql (pemeliharaan akal) mereka maknai dengan kebebasan berpendapat, hifzh ad-dîn (pemeliharaan agama) mereka artikan dengan kebebasan beragama, hifzh al-mâl (pemeliharaan harta) mereka samakan dengan kebebasan kepemilikan, hifzh al-‘irdh (penjagaan kehormatan) mereka maknai dengan kebebasan individu. Walhasil, Imam asy-Syathibi dan maqâshid asy-syarî’ah-nya hanya mereka catut untuk medukung pendapat sekular-liberal mereka. Agaknya, bukan hanya asy-Syathibi yang mereka perlakukan demikian.
Begitu pula mereka sering mengutip ungkapan ad-dîn wâhid wa asy-syarî’ah mukhtalifah (agama itu satu, sedangkan syariat beragam) yang mereka katakan pendapat Ibn ‘Aqil dan dikutip ath-Thabari. Pendapat itu mereka gunakan untuk menolak syariat dan membenarkan pendapat mereka yang liberal dan plural.
Imam ath-Thabari mengutip ungkapan itu bukan dari Ibn Aqil, tetapi dari Ma‘mar yang menuturkan ungkapan Qatadah dalam menafsirkan surat al-Maidah ayat 48: Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami memberikan syariat dan jalan yang terang. Ibn Abi Hatim dan Abu Syaikh menuturkan dari Qatadah maksud tafsir ayat tersebut: Maksudnya adalah jalan dan sunnah-sunnah—bagi Taurat ada syariat, bagi Injil (ada syariat bagi) orang yang menaatinya dan yang bermaksiyat. Akan tetapi, agama adalah satu, yang hanya menerima tauhid dan ikhlas, inilah yang dibawa oleh Rasul.
Maksud ayat tersebut memberitahu kita bahwa bagi setiap agama samawi, Allah memberikan syariat yang tidak sama. Akan tetapi, dalam nash-nash lain dijelaskan bahwa sejak Muhammad diutus, syariat selain Islam sudah tidak berlaku lagi dan tidak akan diterima di sisi Allah. Hanya syariat Islamlah yang berlaku dan diterima di sisi Allah. (QS Ali Imran [3]: 85).
Menjadi Perpanjangan Tangan Barat
Melihat kemiripan ide, konsep, dan perjuangan kelompok liberal, hal itu menyiratkan bahwa mereka tidak lebih merupakan perpanjangan tangan dan aktor yang disutradari oleh Barat.
Proyek Barat sebelumnya untuk mengobok-obok dan menyimpangkan Islam tidak berhasil gemilang. Sebab, aktornya adalah kalangan Barat sendiri yang notabene non-Muslim. Akibatnya, ide dan konsep mereka sulit memasuki ruang pemikiran kaum Muslim. Di sinilah sesungguhnya posisi kelompok liberal itu, yakni untuk melempangkan jalan Barat untuk mempengaruhi kaum Muslim, baik mereka sadar atau tidak. Misi mereka sudah barang tentu mem-Barat-kan kaum Muslim. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.
JIL : Enam Tahun Menebar Sesat




Islam Liberal, Pemurtadan Berlebel Islam





Islam Liberal atau JIL (Jaringan Islam Liberal) adalah kemasan baru dari kelompok lama yang orang-orangnya dikenal nyeleneh. Kelompok nyeleneh itu setelah berhasil memposisikan orang-orangnya dalam jajaran yang mereka sebut pembaharu atau modernis, kini melangkah lagi dengan kemasan barunya, JIL. Mula-mula yang mereka tempuh adalah mengacaukan istilah. Mendiang Dr Harun Nasution direktur Pasca Sarjana IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Jakarta berhasil mengelabui para mahasiswa perguruan tinggi Islam di Indonesia, dengan cara mengacaukan istilah. Yaitu memposisikan orang-orang yang nyeleneh sebagai pembaharu. Di antaranya Rifa'at At-Thahthawi (orang Mesir alumni Paris yang menghalalkan dansa-dansi laki perempuan campur aduk) oleh Harun Nasution diangkat-angkat sebagai pembaharu dan bahkan dibilang sebagai pembuka pintu ijtihad.
Faham JIL
Secara mudahnya, JIL itu menyebarkan faham yang menjurus kepada pemurtadan. Yaitu sekulerisme, inklusifisme, dan pluralisme agama.Sekulerisme adalah faham yang menganggap bahwa agama itu tidak ada urusan dengan dunia, negara dan sebagainya. Inklusifisme adalah faham yang menganggap agama kita dan agama orang lain itu posisinya sama, saling mengisi, mungkin agama kita salah, agama lain benar, jadi saling mengisi. Tidak boleh mengakui bahwa agama kita saja yang benar. (Ini saja sudah merupakan faham pemurtadan). Lebih-lebih lagi faham pluralisme, yaitu menganggap semua agama itu sejajar, paralel, prinsipnya sama, hanya beda teknis
Tokoh-tokoh Islam Liberal
Siapa sajakah yang mereka daftar sebagai Islam Liberal?Dalam internet milik mereka, ada sejumlah nama. Kami kutip sebagai berikut:"Beberapa nama kontributor JIL (Jaringan Islam Liberal, pen) adalah sebagai berikut:
- Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta.
- Charles Kurzman, University of North Carolina.
- Azyumardi Azra, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
- Abdallah Laroui, Muhammad V University, Maroko.
- Masdar F. Mas'udi, Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, Jakarta.
- Goenawan Mohammad, Majalah Tempo, Jakarta.
- Edward SaidDjohan Effendi, Deakin University, Australia.
- Abdullah Ahmad an-Naim, University of Khartoum, Sudan.
- Jalaluddin Rahmat, Yayasan Muthahhari, Bandung.Asghar Ali Engineer.
- Nasaruddin Umar, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
- Mohammed Arkoun, University of Sorbone, Prancis.
- Komaruddin Hidayat, Yayasan Paramadina, Jakarta.
- Sadeq Jalal Azam, Damascus University, Suriah.
- Said Agil Siraj, PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), Jakarta.
- Denny JA, Universitas Jayabaya, Jakarta.Rizal Mallarangeng, CSIS, Jakarta.
- Budi Munawar Rahman, Yayasan Paramadina, Jakarta.
- Ihsan Ali Fauzi, Ohio University, AS.
- Taufiq Adnan Amal, IAIN Alauddin, Ujung Pandang.
- Hamid Basyaib, Yayasan Aksara, Jakarta.
- Ulil Abshar Abdalla, Lakpesdam-NU, Jakarta.
- Luthfi Assyaukanie, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta.
- Saiful Mujani, Ohio State University, AS.
- Ade Armando, Universitas Indonesia, Depok-Jakarta.
- Syamsurizal Panggabean, Universitas Gajahmada, Yogyakarta.
Mereka itu diperlukan untuk mengkampanyekan program penyebaran gagasan keagamaan yang pluralis dan inklusif. Program itu mereka sebut "Jaringan Islam Liberal" (JIL). Penyebaran gagasan keagamaan yang pluralis dan inklusif itu di antaranya disiarkan oleh Kantor Berita Radio 68H yang diikuti 10 Radio; 4 di Jabotabek (Jakarta Bogor, Tangerang, Bekasi) dan 6 di daerah. Di antaranya Radio At-Tahiriyah di Jakarta yang menyebut dirinya FM Muslim dan berada di sarang NU tradisionalis pimpinan Suryani Taher, dan juga Radio Unisi di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
Dua Radio Islam itu ternyata sebagai alat penyebaran Islam Liberal, yang fahamnya adalah pluralis, semua agama itu sama/ paralel, dan kita tak boleh memandang agama lain dengan pakai agama kita. Sedang faham inklusif adalah sama dengan pluralis, hanya saja memandang agama lain dengan agama yang kita peluk. Dan itu masih dikritik oleh orang pluralis.
Itulah pemurtadan lewat jalur yang menggunakan nama Islam dan orang-orang yang mengaku dirinya Muslim.
Menghadapi Islam Liberal
Untuk menghadapi pemurtadan yang diusung Islam Liberal itu sudah ada tuntunan dari Allah SWT dan Rasul-Nya.
Di antaranya ayat:
"Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku."
(QS Al-Kaafiruun/ 109: 6).
Ibrahim Al-Khalil dan para pengikutnya berkata kepada kaumnya, orang-orang musyrikin:
"Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja."
(Al-Mumtahanah/ 60: 4)
(Tafsir Ibnu Katsir, jilid 2, Darul Fikr, Beirut, hal 509).
Dalam hadits ditegaskan:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda:
"Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, tidaklah seseorang dari Ummat ini yang mendengar (agama)ku, baik dia itu seorang Yahudi maupun Nasrani, kemudian dia mati dan belum beriman dengan apa yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk penghuni neraka."
(Hadits Riwayat Muslim bab Wujubul Iimaan birisaalati nabiyyinaa saw ilaa jamii'in naasi wa naskhul milal bimillatihi, wajibnya beriman kepada risalah nabi kita saw bagi seluruh manusia dan penghapusan agama-agama dengan agama beliau).
Faham inklusifisme dan pluralisme agama yang diusung oleh JIL jelas bertentangan dengan firman Allah SWT dan sabda Nabi saw. Berarti faham JIL itu adalah untuk merobohkan ayat dan hadits, maka wajib diperangi secara ramai-ramai. Kalau tidak maka akan memurtadkan kita, anak-anak kita, dan bahkan cucu-cicit kita.
Dari Aldakwah.com
Oleh: Drs. Hartono Ahmad Jaiz