Tuesday, July 1, 2008

Fatwa MUI tentang PASAR MODAL

Pasar Modal

Sunday, 16 April 2006

Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia no: 40/DSN-MUI/X/2003, tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal.Menimbang :

a. Bahwa perkembangan ekonomi suatu negara tidak lepas dari perkembangan pasar modal.

b. Bahwa pasar modal berdasarkan prinsip syariah telah dikembangkan di berbagai negara.

c. Bahwa umat Islam Indonesia memerlukan Pasar Modal yang aktivitasnya sejalan dengan prinsip Syariah.

d. Bahwa oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Dewan Syariah Nasional MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal.
Mengingat :

Firman Allah, antara lain: ...dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...
(QS. al-Baqarah [2]: 275)

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
(QS. al-Baqarah [2]: 278-279).

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
(QS. An-Nisa [4] : 29)

Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah
(QS. Al-Jumu’ah [62] : 10)

Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu...
(QS. Al-Ma’idah [5]: 1)

Hadis Nabi s.a.w antara lain:

“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.” (Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari ‘Ubadah bin Shamit, riwayat Ahmad dari Ibnu ‘Abbas dan Malik dari Yahya).

“Janganlah kamu menjual sesuatu yang tidak ada padamu” (HR. Al Khomsah dari Hukaim bin Hizam).

“Tidak halal (memberikan) pinjaman dan penjualan, tidak halal (menetapkan) dua syarat dalam satu jual beli, tidak halal keuntungan sesuatu yang tidak ditanggung resikonya, dan tidak halal (melakukan) penjualan sesuatu yang tidak ada padamu” (HR. Al Khomsah dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya).

“Rasulullah s.a.w melarang jual beli yang mengandung gharar” (HR. Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Daud, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).

“Rasulullah s.a.w melarang (untuk) melakukan penawaran palsu” (Muttafaq ‘alaih).

“Nabi SAW melarang pembelian ganda pada satu transaksi pembelian” (HR. Abu Dawud, al-Tirmidzi, dan al-Nasa’i).

“Tidak boleh menjual sesuatu hingga kamu memilikinya” (HR. Baihaqi dari Hukaim bin Hizam).

“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR Al-Tirmidzi dari Amr bin Auf)

“Allah swt berfiman: ‘Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, aku keluar dari mereka.’ (HR. Abu Daud, yang dishahihkan oleh al-Hakim dari Abu Hurairah).

“Dari Ma’mar bin Abdullah, dari Rasulullah SAW bersabda: Tidaklah melakukan ikhtikar (penimbunan/monopoli) kecuali orang yang bersalah” (HR. Muslim).

Kaidah fiqh: “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkan.”.

“Tidak boleh melakukan perbuatan hukum atas milik orang lain tanpa seizinnya”Memperhatikan :

1. Pendapat Ulama, antara lain:

a. Pendapat Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni juz 5/173 [Beirut:Dar al Fikr, tanpa tahun]: Jika salah seorang dari dua orang berserikat membeli porsi mitra serikatnya, hukumnya boleh karena ia membeli milik pihak lain.

b. Pendapat Dr. Wahbah al-Zuhaili dalam Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu juz 3/1841: Bermuamalah dengan (melakukan kegiatan transaksi atas) saham hukumnya boleh, karena pemilik saham adalah mitra dalam perseroan sesuai dengan saham yang dimilikinya.

c. Pendapat para ulama yang menyatakan kbolehan jual beli saham pada perusahaan-perusahaan yang memiliki bisnis yang mubah, antara lain dikemukakan oleh Dr. Muhammad ‘Abdul Ghaffar al-Syarif (al-Syarif, Buhuts Fiqhiyyah Mu’ashirah, [Beirut: Dar Ibn Hazm, 1999], h.78-79); Dr. Muhammad Yusuf Musa (Musa, al-Islam wa Muskilatuna al-Hadhirah, [t.t : Silsilah al-Tsaqafah al-Islamiyah, 1958], h.58). Dr. Muhammad Rawas Qal’ahji, (Qal’ahji, al-Mu’amalat al-Maliyah al-Mu’ashirah fi Dhaw’i al-Fiqh wa al-Syari’ah, [Beirut: Dar al-Nafa’is, 1999]). Syaikh Dr. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz al-Matrak (Al-Matrak, al-Riba wa al-Mu’amalat al-Mashrafiyyah, [Riyadh: Dar al-‘Ashimah, 1417 H], h. 369-375) menyatakan: (Jenis kedua) adalah saham-saham yang terdapat dalam perseroan yang dibolehkan, seperti perusahaan dagang atau perusahaan manufaktur yang dibolehkan. Bermusahamah (saling bersaham) dan bersyarikah (kongsi) dalam perusahaan tersebut serta menjualbelikan sahamnya, jika perusahaan itu dikenal serta tidak mengandung ketidakpastian dan ketidakjelasan yang signifikan, hukumnya boleh. Hal itu disebabkan karena saham adalah bagian dari modal yang dapat memberikan keuntungan kepada pemiliknya sebagai hasil dari usaha perniagaan dan manufaktur. Hal itu hukumnya halal, tanpa diragukan.

d. Pendapat para ulama yang membolehkan pengalihan kepemilikan porsi suatu surat berharga selama disepakati dan diizinkan oleh pemilik porsi lain dari suatu surat berharga (bi-idzni syarikihi). Lihat: Al-Majmu’ Syarh al-Muhazdzab IX/265 dan Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu IV/881.

e. Keputusan Muktamar ke-7 Majma’ Fiqh Islami tahun 1992 di Jeddah: Boleh menjual atau menjaminkan saham dengan tetap memperhatikan peraturan yang berlaku pada perseroan

2. Keputusan dan Rekomendasi Lokakarya Alim Ulama tentang Reksa Dana Syariah tanggal 24-25 Rabiul Awwal 1417H/29-30 Juli 1997M.

3. Undang-Undang RI no. 8 tahun 1995 tentang pasar modal.

4. SK DSN-MUI no. 01 Tahun 2001 tentang Pedoman Dasar Dewan Syariah Nasional.

5. Nota Kesepahaman antara DSN-MUI dengan Bapepam tanggal 14 Maret 2003 M / 11 Muharram 1424 H dan Pernyataan bersama Bapepam, APEI, dan SRO tanggal 14 Maret 2003 tentang kerjasama pengembangan dan implementasi prinsip syariah di pasar modal Indonesia.

6. Nota Kesepahaman antara DSN-MUI dengan SRO tanggal 10 Juli 2003 M / 10 Jumadil Awwal 1424 H tentang Kerjasama Pengembangan dan Implementasi Prinsip Syariah di Pasar Modal Indonesia.

7. Workshop Pasar Modal Syariah di Jakarta pada 14-15 Maret 2003 M / 11 - 12 Muharram 1424 H.

8. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari’ah Nasional pada Hari Sabtu, tanggal 08 Sya’ban 1424 H / 04 Oktober 2003 M.

Dewan Syari’ah Nasional Menetapkan : FATWA TENTANG PASAR MODAL DAN PEDOMAN UMUM PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DI BIDANG PASAR MODAL.

BAB I
KETENTUAN UMUM
PASAL 1

Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan:

1. Pasar modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek.

2. Emiten adalah pihak yang melakukan penawaran umum.

3. Efek syariah adalah efek sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal yang akad, pengelolaan perusahaan, maupun cara penerbitannya memenuhi prinsip-prinsip syariah.

4. Shariah Compliance Officer (SCO) adalah pihak atau pejabat dari suatu perusahaan atau lembaga yang telah mendapat sertifikasi dari DSN-MUI dalam pemahaman mengenai prinsip-prinsip syariah di Pasar Modal.

5. Pernyataan Kesesuaian Syariah adalah pernyataan tertulis yang dikeluarkan oleh DSN-MUI terhadap suatu efek syariah bahwa Efek tersebut sudah sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah.

6. Prinsip-prinsip Syariah adalah prinsip-prinsip yang didasarkan atas ajaran Islam yang penetapannya dilakukan oleh DSN-MUI, baik ditetapkan dalam fatwa ini maupun dalam fatwa terkait lainnya.

BAB II
PRINSIP-PRINSIP SYARIAH DI BIDANG PASAR MODAL
PASAL 2
Pasar Modal


1. Pasar Modal beserta seluruh mekanisme kegiatannya terutama mengenai emiten, jenis efek yang diperdagangkan dan mekanisme perdagannya dipandang telah sesuai dengan Syariah apabila telah memnuhi prinsip-prinsip syariah.

2. Suatu efek dipandang telah memenuhi prinsip-prinsip syariah apabila telah memperoleh Pernyataan Kesesuaian Syariah.

BAB III
EMITEN YANG MENERBITKAN EFEK SYARIAH
Pasal 3

Kriteria Emiten atau Perusahaan Publik

1. Jenis usaha, produk barang, jasa yang diberikan dan akad serta cara pengelolaan perusahaan Emiten atau perusahaan Publik yang menerbitkan Efek Syariah tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.

2. Jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 angka 1 di atas, antara lain:

a. Perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang.

b. Lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional;

c. Produsen, distributor, serta pedagang makanan dan minuman yang haram;

d. Produsen, distributor, dan/atau penyedia barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudharat.

e. Melakukan investasi pada emiten (perusahaan) yang pada saat transaksi tingkat (nisbah) hutang perusahaan kepada lembaga keuangan ribawi lebih dominan dari modalnya;

3. Emiten atau perusahaan publik yang bermaksud menerbitkan efek syariah wajib untuk menandatangani dan memenuhi ketentuan akad yang sesuai dengan syariah atas efek syariah yang dikeluarkan.

4. Emiten atau perusahaan publik yang menerbitkan efek syariah wajib menjamin bahwa kegiatan usahanya memenuhi prinsip-prinsip syariah dan memiliki syariah compliance officer.

5. Dalam hal emiten atau perusahaan publik yang menerbitkan efek syariah sewaktu-waktu tidak memenuhi persyaratan tersebut di atas, maka efek yang diterbitkan dengan sendirinya sudah bukan sebagai efek syariah.

BAB IV
KRITERIA DAN JENIS EFEK SYARIAH
Pasal 4
Jenis Efek Syariah


1. Efek syariah mencakup saham syariah, obligasi syariah, reksa dana syariah, kontrak investasi kolektif efek baragun aset (KIKEBA) Syariah, dan surat berharga lainnya yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

2. Saham syariah adalah bukti kepemilikan atas suatu perusahaan yang memenuhi kriteria sebagaimana tercantum dalam pasal 3, dan tidak termasuk saham yang memiliki hak-hak istimewa.

3. Obligasi syariah adalah surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.

4. Reksa dana syariah adalah reksa dana yang beroperasi menurut ketentuan dan prinsip Syariah Islam, baik dalam bentuk akad antara pemodal sebagai pemilik harga (shahib al-mal/rabb al-mal) dengan manajer investasi, begitu pula pengelolaan dana investasi sebagai wakil shahib al mal, maupun antara manajer investasi sebagai wakil shahib al-mal dengan penggunaan investasi.

5. Efek beragun aset syariah adalah efek yang diterbitkan oleh kontrak investasi kolektif EBA syariah yang berportofolio-nya terdiri dari aset keuangan berupa tagihan yang timbul dari surat berharga komersial, tagihan yang timbul di kemudian hari, jual beli pemilikan aset fisik oleh lembaga keuangan, efek bersifat investasi yang dijamin oleh pemerintah, sarana peningkatan investasi/arus kas serta aset keuangan setara yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

6. Surat berharga komersial syariah adalah surat pengakuan atas suatu pembiayaan dalam jangka waktu tertentu yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.


BAB V
TRANSAKSI EFEK
Pasal 5
Transaksi Yang Dilarang

1. Pelaksanaan transaksi harus dilakukan menurut prinsip kehati-hatian serta tidak diperbolehkan melakukan spekulasi dan manipulasi yang didalamnya mengandung unsur dharar, gharar, riba, maisir, risywah, maksiat dan kezhaliman.

2. Transaksi yang mengandung unsur dharar, gharar, riba, maisir, risywah, maksiat dan kezhaliman sebagaimana dimaksud ayat 1 di atas meliputi:

a. Najsy, yaitu melakukan penawaran palsu.

b. Bai’ al-ma’dum, yaitu melakukan penjualan atas barang (Efek Syariah) yang belum dimiliki (short selling);

c. Insider trading, yaitu memakai informasi orang dalam bentuk memperoleh keuntungan atas transaksi yang dilarang;

d. Menimbulkan informasi yang menyesatkan;

e. Margin trading, yaitu melakukan transaksi atas efek syariah dengan fasilitas pinjaman berbasis bunga atas kewajiban penyelesaian pembelian efek syariah tersebut; dan

f. Ikhtikar (penimbunan), yaitu melakukan pembelian atau dan pengumpulan suatu efek syariah untuk menyebabkan perubahan harga efek syariah, dengan tujuan mempengaruhi pihak lain;

g. Dan transaksi-transaksi lain yang mengandung unsur-unsur diatas.

Pasal 6
Harga Pasar Wajar

Harga pasar dari efek syariah harus mencerminkan nilai valuasi kondisi yang sesungguhnya dari aset yang menjadi dasar penerbitan efek tersebut dan/atau sesuai dengan mekanisme pasar yang teratur, wajar dan efisien serta tidak direkayasa.

BAB VI
PELAPORAN DAN KETERBUKAAN INFORMASI
Pasal 7

Dalam hal DSN-MUI memandang perlu untuk mendapatkan informasi, maka DSN-MUI berhak memperoleh informasi dari Bapepam dan pihak lain dalam rangka penerapan prinsip-prinsip syariah di pasar modal.

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 8


1. Prinsip-prinsip syariah mengenai pasar modal dan seluruh mekanisme kegiatan terkait di dalamnya yang belum di atur dalam fatwa ini akan ditetapkan lebih lanjut dalam fatwa atau keputusan DSN-MUI.

2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.



Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 08 Sya’ban 1424 H / 04 Oktober 2003 M




DEWAN SYARI’AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA



Ketua,
Sekretaris,



K.H. M.A. Sahal Mahfudh
Prof. Dr. H. M. Din Syamsuddin

No comments: