Monday, September 15, 2008

Nikmatnya Hidup Merasa Cukup (Iman Manusia VS Iman Semut)


Abdullah bin Mas'ud menyampaikan bahwa dirinya sering mendengar Rasulullah Saw mengucapkan doa berikut:


Allahumma inni as'alukal huda wat tuqaa wal 'afafa wal ghina.
“Ya Allah, aku meminta kepadaMu petunjuk, ketaqwaan, harga diri dan kecukupan.”


Doa ini kerap dibaca oleh Rasulullah SAW. Tentu ummatnya pun harus mengikuti kebiasaan baik ini. Berkaitan dengan tema tulisan ini, maka 2 poin terakhir dari doa Rasulullah Saw di atas amatlah baik untuk kita telusuri.
Seorang muslim haruslah memiliki karakter yang kuat. Ia tidak boleh goyah dan dirinya hanya diperkenankan untuk bersandar kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, ALLAH Swt. Dialah Ash Shamad (Dzat tempat bersandar) dimana kita dapat menyandarkan segala urusan yang kita hadapi. Karenanya seorang muslim dilarang untuk merusak harga dirinya karena sering merasa tidak cukup.


Siapa yang tidak suka dengan harta dan keduniawian? Tentu semua manusia suka. Namun untuk mendapatkan harta pun, agama ini telah mengatur rambu-rambunya. Tidak hanya harus halal sifat hartanya, cara mencarinya pun haruslah elegant.
Seorang sahabat bernama Hakim bin Hizam meminta sesuatu kepada Rasulullah Saw (saya mengira ia meminta harta ghanimah/fa'i yang menjadi haknya). Kemudian Rasulullah Saw memberikannya. Lalu untuk kedua kali Hakim meminta lagi kepada Rasulullah. Rasul pun memberikannya. Namun karena Hakim sudah dua kali datang untuk meminta, Rasul Saw pun memberinya nasehat:


“Hai Hakim, sesungguhnya harta itu memang manis dan mempesonakan. Siapa saja mendapatkannya dengan kemurahan jiwa, maka ia akan diberikan keberkahan pada harta itu. Tetapi siapa saja yang mendapatkannya dengan meminta-minta, maka ia tidak akan mendapatkan keberkahan. Tangan yang di atas (pemberi) lebih baik dari tangan yang di bawah (yang meminta)”. Hakim berkata, “Wahai Rasulullah, demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, saya tidak akan merima sesuatupun dari seseorang sesudah pemberianmu ini, sampai saya meninggal dunia.”


Itulah janji Hakim yang dia ucapkan dihadapan Rasulullah, dan ia pun memegang teguh janji yang pernah dia ucapkan.
Suatu saat Abu Bakar pernah memanggil Hakim untuk memberikan sesuatu kepadanya, tetapi ia tidak mau menerimanya. Demikian pula dengan Umar, ia pernah memanggil Hakim untuk memberikan sesuatu, tetapi Hakim tidak mau menerimanya, maka Umar berkata,


“Wahai umat Islam, saksikanlah, bahwa saya telah menawarkan harta rampasan yang menjadi haknya Hakim, sebagaimana yang telah diatur Allah, tetapi ia tidak mau mengambilnya.” Demikian, Hakim tetap tidak mau menerima pemberian dari seorang pun setelah menerima pemberian dari Nabi SAW hingga ia meningal dunia.”

(HR. Bukhari dan Muslim)


Hakim memegang janjinya kepada Rasulullah Saw. Barangkali ia sudah memahami bahwa dalam memberi ada kemuliaan jiwa, karenanya jangan pernah merusak harga diri (iffah) dengan meminta-minta kepada manusia.
Dalam sebuah kisah, raja Sulaiman As menangkap seekor semut kemudian ia masukkan ke dalam botol. Raja Sulaiman yang diberi kemampuan menguasai berbagai bahasa binatang pun berkata kepada semut,


"Wahai semut, apa makanan yang kau makan dan berapa banyak yang kau butuhkan dalam masa sebulan?"
Semut menjawab, "Aku biasa memakan gandum. Untuk sebulan aku hanya memerlukan satu biji gandum saja." "Baiklah, aku akan mencukupi kebutuhanmu dalam sebulan!" Raja Sulaiman lalu mengambil sebiji gandum dan ia masukkan ke dalam botol untuk memenuhi kebutuhan semut itu selama sebulan.


Sebulan berselang, raja Sulaiman mengunjungi semut yang ada dalam botol. Beliau dapati semut itu hanya memakan setengah dari gandum yang ia berikan. Raja Sulaiman lalu bertanya kepada semut, "Pernah kau katakan bahwa dalam sebulan engkau memerlukan makanan sebanyak satu biji gandum. Kini satu bulan telah berlalu namun mengapa hanya setengah gandum yang kau makan?"


Semut kecil menjawab pertanyaan sang raja, "Benar, aku biasa memakan 1 biji gandum yang Allah berikan dan aku habiskan itu selama 1 bulan. Engkau pun memberikan 1 biji gandum untukku habiskan dalam sebulan selama aku berada di botol ini. Aku tak mengerti apakah engkau akan melepaskan aku setelah ini atau terus mengurungku lagi di dalam botol? Karena engkau bukanlah Allah, meski engkau menjamin makananku setiap bulan, maka aku tidak bisa begitu percaya terhadap dirimu. Bila engkau masih tetap mengurungku di dalam botol ini, maka aku tak yakin engkau akan memperhatikan makananku seperti Allah menjaminnya. Sekalipun engkau adalah raja yang kaya, engkau tetaplah manusia yang punya banyak kekurangan....!"


Lewat dialog semut dan raja Sulaiman ini ada intisari yang bisa kita dapatkan; yaitu bahwa sejatinya makhluk hanya boleh bersandar kepada Allah saja. Bila ia berharap apalagi bergantung kepada sesama makhluk, maka Tuhan Yang Maha Pemurah akan enggan membantunya.

Dalam sebuah hadits dikatakan:


Dari Ibnu Mas’ud RA, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Siapa saja yang tertimpa kekurangan, kemudian ia mengadukannya kepada sesama manusia, maka kekurangannya tidak akan ditutupi. Tetapi siapa saja yang mengadukannya kepada Allah SWT, maka Allah SWT akan memberikan kepadanya rezeki (baik datangnya) segera atau lambat.”

(HR.Abu Daud dan Tirmidzi)

Ada lagi sebuah kisah yang hendak saya utarakan. Kisah ini berasal dari seorang sahabat yang hijrah ke agama Islam setelah sekian lamanya ia terlahir dalam sebuah keluarga Nasrani. Dialah Agus Herlambang, bukan nama asli. Sudah 4 tahun lebih dia bermukim di sebuah pesantren milik Kyai Ahmad di Tasikmalaya. Keteduhan Islam dan ketenangan pesantren memberi rasa kedamaian yang sudah lama ia cari.
Di sisi lain, masuknya Agus dalam agama Islam membuat semua keluarganya murka. Ia terusir dari keluarganya, dan setelah Agus pergi meninggalkan rumah, sang mama sering jatuh sakit mengharapkan Agus untuk kembali ke rumah. Namun hidup itu adalah pilihan. Apalagi bila pilihannya adalah antara Allah Sang Pencipta dan mamanya. Tentu Allah haruslah didahulukan atas segalanya!


Berulang kali mamanya Agus berharap ia kembali ke rumah. Bahkan hingga sang mama jatuh sakit. Kali itu di awal Ramadhan kira-kira 4 tahun yang lalu, seorang kakaknya menelpon dan memberitahukan bahwa mama sedang sekarat dan sering menyebut nama Agus.
Merasa tergugah, Agus pun pulang ke rumah. Sebentar saja ia bisa menjumpai mamanya, setelah itu nyawa mama pun meninggalkan badan. Semua kakak dan keluarga menuding Agus sebagai biang keladi kematian mama. Menanggapinya, Agus tak ambil pusing.


Namun pada malam dimana jasad mama sudah dikuburkan, semua kakaknya membuat makar atas dirinya. Kakak tertua tiba-tiba berkata, "Mumpung semua keluarga berkumpul di sini, maka ada baiknya bila semua harta warisan orang tua kita bagikan sekarang..." Mendengarnya Agus merasa risih. "Baru saja Mama dikuburkan tadi siang, kok sudah bagi-bagi warisan sekarang?!" gumam Agus. "Ini bagianmu.... ini bagianmu.... ini bagianmu.... dan ini bagianku!" Kakak tertua Agus membagikan harta warisan yang telah dihitung kepada keempat kakaknya selain Agus.


Saat harta warisan itu dibagikan, ia menunggu kapan namanya disebut mendapatkan giliran. Namun harta itu sudah habis dibagikan di antara keempat kakaknya, dan Agus tidak disebut namanya untuk mendapatkan bagian.
Ia baru sadar bahwa dirinya teraniaya oleh keempat kakaknya. Agus gusar dan berkata, "Mana bagianku, aku khan anak mama juga?!" Salah seorang kakaknya dengan ketus mengatakan, "Bukankah dalam agamamu (maksudnya adalah Islam), seorang muslim tidak boleh mewarisi sesuatu dari orang kafir?! Mama kan kafir menurut agamamu. Karenanya engkau tidak dapat jatah warisan dari harta mama!!!" Agus marah. Dia kesal mendengar komentar kakaknya itu. Dia tahu bahwa dirinya Islam, tapi dia belum pernah dengar aturan warisan seperti itu dalam Islam. Di kepalanya yang ada adalah dirinya terzalimi oleh kakak-kakaknya karena ia tidak mendapatkan harta warisan.


Malam itu juga Agus hendak pergi ke Tasikmalaya. Ia ingin kembali ke pesantren dan mengadukan kezaliman ini kepada gurunya, Kyai Ahmad. Pagi itu di awal Ramadhan, waktu setempat belum lagi menunjukkan pukul 7. Agus mempercepat langkahnya menuju rumah pak Kyai untuk melaporkan kegusaran hati. Ia ucapkan salam dan pak Kyai Ahmad pun membalasnya. Belum lagi ia mengutarakan perasaannya, pak Kyai Ahmad berujar kepadanya, "Sudah sarapan, Agus?" Mendengarnya Agus merasa heran, "Ini khan bulan Ramadhan, mengapa pak Kyai menawari aku makan?!" Namun sekilas ia merasa bahwa pak Kyai menduganya tidak berpuasa sebab telah menempuh perjalanan yang cukup jauh dari Jakarta – Tasikmalaya. Sebab itu, pak Kyai menawarinya makan.


"Pergi sana ke dapur, mintalah makan kepada ummi!*" Di dapur makanan sudah disiapkan untuk Agus. Ia pun memakan sepiring makanan dengan lahap. Usai makan, Agus pergi menemui pak Kyai lagi di ruang depan.
Begitu melihat Agus datang, pak Kyai berkata, "Sudah makan, Agus...? Sana kembali lagi ke dapur dan tambah makanmu!" Agus menjawab, "Pak Kyai, saya sudah kenyang..." Mendapat jawaban itu suara pak Kyai meninggi, "Tambah makananmu...., Agus!"
Dengan berat hati Agus pun ke dapur lagi. Ia tambah makanannya sepiring lagi. Perutnya yang sudah kenyang menimbulkan rasa mual. Usai menyantap makanan dengan piring kedua, Agus pun mendatangi lagi sang Kyai. Anehnya, lagi-lagi pak Kyai menyuruhnya untuk menambah makan.


Agus berkata kepada pak Kyai, "Demi Allah pak Kyai, saya sudah tidak sanggup lagi untuk menambah makan!" Agus mengatakannya sambil memegang perutnya yang sudah membusung, sebagai bukti bahwa dirinya sudah kenyang.
Mendengar Agus tak mampu menyantap piring ketiga, dengan enteng Kyai Ahmad berujar, "Agus.... Agus, bila makan saja tidak sanggup menghabiskan tiga piring, lalu kenapa bersedih jika tidak kebagian harta waris! Perut kita cuma segini, gak perlu lebih. Sedikit asal cukup dan berkah lebih bagus daripada banyak tapi melalaikan!"
Mendengar kalimat hikmah yang meluncur dari pak Kyai, Agus pun urung menyampaikan permasalahannya. Sebab rupanya pak Kyai sudah memberinya pelajaran yang amat berharga untuk dirinya, yaitu senantiasa cukup akan anugerah yang Allah berikan untuk dirinya.


Dalam kecukupan terdapat kebahagiaan!


Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW bersabda,


“Bukanlah kekayaan itu diukur dari melimpahnya harta, tetapi yang disebut kekayaan (yang sebenarnya) adalah kekayaan jiwa.”

(HR. Bukhari dan Muslim)



*Artikel ini pernah disampaikan dalam pengajian Majlis Al Kauny pada tanggal 26 Januari 2008


No comments: