Wednesday, September 17, 2008

Makan Untuk Hidup Atau Hidup Untuk Makan


PUASA, MERUGIKAN KESEHATAN?

Awal bulan September 2008 nanti bulan Ramadhan tiba menjelang. Besarnya cobaan dan rintangan menahan nafsu yang dihadapi bagi sebagian orang yang menunaikan ibadah puasa sedikit banyak telah menggeser potensi esensi manfaat dahsyat yang dimiliki pada ibadah berpuasa untuk kesehatan tubuh manusia. Tidak sedikit sebagian orang yang berorientasi puasa sebagai beban yang wajib mau tidak mau dilakukan.

Dalam berpuasa, yang paling berat untuk dilakukan pada sebagian banyak orang adalah menahan haus dan lapar. Proses beratnya usaha menahan lapar dan haus ditemui semakin menjadi disaat puasa mau tidak mau dilakukan dari terbit hingga terbenamnya matahari lantaran tempo waktu tersebut merupakan disaat manusia pada umumnya beraktifitas.
Ditambah lagi, ditengah usaha menahan rasa lapar dan haus di terik siang hari, para kaum muslim yang menjalankan ibadah puasa harus pula menahan nafsu amarah yang dapat membatalkan ibadah puasanya. Seperti yang kita maklumi, betapa beratnya menahan nafsu amarah ketika kondisi perut tengah kosong.

Belum lagi urusan seksualitas, untuk kebutuhan biologis yang satu ini haram hukumnya untuk dilakukan selagi menjalani ibadah puasa di siang hari. Hal ini membuat semakin tambah skor beban beratnya sebuah ibadah puasa. Serta tidak ketinggalan, proses ini wajib nan mau tidak mau bin sudi tidak sudi dilakukan dalam kurun waktu sedikitnya 29 hari non-stop.

Namun dibalik sederet nomor penderitaan yang telah disebutkan diatas, jika kita mampu menggali lebih dalam mengenai manfaat serta kegunaan ibadah berpuasa untuk stabitlitas tubuh biologis manusia, maka kita akan mendapatkan nilai tambah kesehatan bagi tubuh kita disaat kita sedang menjalani puasa.

MAKAN UNTUK HIDUP atau HIDUP UNTUK MAKAN?

Profesor dan konsultan pengobatan penyakit dalam RS Medistra, Prof. dr. Suwandhi,Widjaja, Sp. PD, Ph.D mengemukakan, dalam sebuah riset penelitian, telah dilakukan uji coba kepada tiga buah ekor tikus mengenai sistem pola makan berpuasa. Pada tikus uji coba nomor 1 diberikan ritme pola makan yang berlebih. Pada tikus uji coba nomor 2, diberikan ritme pola makan yang normal. Sementara, pada tikus percobaan nomor 3, diterapkan interval ritme pola makan dengan jeda paling jarang. Terbukti, pada percobaan tersebut tersimpulkan, tikus nomor 3 memiliki usia dan daya tahan paling kuat diantara tikus pecobaan nomor 1 & 2.

Sama halnya pada manusia, dalam setiap kasus penyakit kardiovaskuler ataupun penyakit dalam lainnya, yang banyak berpotensi berujung kepada kematian sebagian besar penyebab utama timbulnya penyakit tersebut ialah terpicu dari pola makan penderita yang berlebihan. Tubuh yang gemuk belum tentu merupakan tubuh yang sehat, bahkan semakin beresiko menemui penyakit.

Menurut beliau, setiap makhluk hidup memiliki pola makan yang tertentu. Contohnya, seekor sapi hanya mampu memakan rumput serta tumbuhan lainnya. Jika sapi diberi makanan daging ataupun makanan selain tumbuhan, maka otomatis tubuhnya akan menolak secara sistematis. Hal ini ditenggarai karena dari sistem pencernaan sapi hingga ke distribusi penyerapan nutrisi untuk tubuhnya secara keseluruhan hanya sesuai untuk konsumsi tumbuh-tumbuhan. Begitu juga dengan seekor singa, jika seekor singa dipaksakan untuk menerapkan pola makan hewan golongan herbivora, maka sistem mekanisme pencernaan singa yang notabene telah khusus di disain sedemikian rupa hanya untuk konsumsi daging akan terganggu dan mempengaruhi metabolisme tubuh sang singa.

Pada manusia, hal serupa akan terjadi jika sebuah pola makan diterapkan secara diluar standar kemampuan sistem pencernaan dan distribusi nutrisi tubuh manusia. Metabolisme tubuh manusia itu sendiri akan terganggu malah berpotensi mengundang komplikasi beberapa penyakit. Bahkan dalam berbagai kasus tertentu dapat berindikasi ke penuaan dini.
Hal demikian terimplementasi pada penderita diabetes mellitus, jika pengaturan pola makan dengan diet disiplin maka resiko dari diabetes mellitus dapat diminimalisir.

Dengan melakukan pengurangan ritme pola makan dengan tujuan mengembalikan stabilitas metabolisme tubuh selayaknya berpuasa, maka nilai tambah kebaikan manfaat berpuasa adalah salah satunya membebaskan ancaman resiko-resiko timbulnya penyakit-penyakit mampu dinetralisir secara alami.

DETOKSIFIKASI

Nilai tambah lainnya manfaat dari berpuasa ialah detoksifikasi. Dengan mengurangi pola makan yang ada serta diiringi ritme aktifitas yang tetap dan konsisten, maka tubuh manusia secara sistematis otomatis akan mengeluarkan residu dari hasil metabolisir secara signifikan. Detoksifikasi sangat membantu untuk pengembalian keseimbangan metabolisme tubuh manusia, Pada mulanya, entah darimana, manusia dari dahulu mengadopsi pola makan 3 kali dalam 1 hari.

Tidak ada dalil yang pasti dari pihak manapun yang memperkuat akan aksioma pola makan manusia menjadi 3 kali sehari. Setiap tubuh manusia memiliki keunikan masing-masing. Ada tubuh yang mampu mengakomodasi asupan nutrisi cukup dengan makan 2 kali dalam sehari, ada juga tubuh lainnya yang bahkan membutuhkan asupan nutrisinya dengan ritme pola makan 4 kali sehari. Secara normal, lambung manusia sudah ‘meminta’ bahan untuk dicerna kembali sedikitnya dalam interval 2 jam.

Dengan ritme pola makan demikian, potensi pola makan berlebihan berkemungkinan besar mampu teraplikasi secara diluar kontrol atau kebablasan. Tubuh berpotensi besar menjadi berlebihan stok lemak maupun enzim-enzim yang tidak mampu lagi dicerna oleh metabolisme tubuh sehingga menjadi mengendap, menjadi residu yang mengundang bahaya dengan dalam hitungan waktu yang diibaratkan sebagai bom waktu.

Dengan adanya proses kontrol pola makan dengan cara berpuasa dan dilakukan konsisten selama 30 hari, jika dilakukan dengan baik dan benar, secara signifikan racun tubuh yang akan keluar dengan sendirinya. Secara rinci, disaat tubuh manusia berpuasa, maka tubuh dengan sendirinya akan mencari asupan alternatif dengan proses menghabiskan stok enzim dan zat yang selama ini menumpuk di dalam tubuh untuk menghasilkan energi guna menopang kebutuhan aktifitas tubuh dalam keseharian.

Profesor yang terlihat jauh lebih muda dari usia seharusnya ini pun telah menerapkan pola makan selayaknya berpuasa untuk kebaikan jasmaniah dan rohaniah dirinya, pengadopsian sistem pengaturan pola makan ‘puasa’ ini dirasa telah sedikit banyak memberikan manfaat pada dirinya.

Namun manfaat kontrol pola makan masih kurang untuk hasil yang optimal guna menuju konsep pengontrol metabolisme tubuh. Pengontrol nafsu makan baru cukup meliputi satu aspek dalam rangka tujuan mengungkap kebaikan kesehatan dari implementasi ibadah puasa. Masih diperlukan satu usaha pengendalian untuk meliputi aspek lainnya disamping pengendalian jasmani, yakni aspek pengendalian kesehatan rohani yang mencakup ruang lingkup kondisi kejiwaan dengan menahan amarah.

TIDAK MARAH = SEHAT

Selain manfaat kontrol pola makan sebagai kontrol stabilitas metabolisme tubuh manusia, dengan berpuasa manusia juga mendapatkan manfaat kebaikan tubuh untuk kesehatan yang serupa dari menahan nafsu amarah.

Beberapa penyakit seperti halnya jantung koroner, tekanan darah tinggi, gastritis hingga kanker tulen berelevan dengan ketidakmampuan menahan diri, apalagi penyakit-penyakit psikiatrik.
Manifesto lemahnya kontrol menahan diri dapat terlihat dalam kehidupan sehari-hari, seperti halnya kasus tidak mampu melihat pesaing lebih maju, tidak mampu menahan amarah, tidak mampu menahan diri untuk bersabar dan lain sebagainya. Dimana secara psikis, jika hal-hal sepele tersebut menjadi beban pikiran, maka metabolisme tubuh pun akan ikut terpengaruh, dimana dapat berindikasi ke penyakit-penyakit dalam yang beresiko tinggi bahkan berimplikasi kearah gangguan kejiwaan.

Ilmu kedokteran telah membuktikan bahwa disaat manusia sedang mengalami kodisi psikis marah, baik yang dipendam maupun yang dimuntahkan akan memicu rangkaian refleks sympatis yakni berupa peningkatan kadar hormon katekholamin (adrenalin) dalam darahnya. Hormon katekholamin ini akan menimbulkan refleks siaga yang dapat kita rasakan sensasinya seperti terpacunya ritme detak jantung, otot-otot menegang, tekanan darah naik, keringat dingin bermunculan di beberapa bagian tubuh, pembuluh darah diotot melebar sementara di visceral (organ dalam) menyempit, nafas memburu guna menyeimbangi suplai kebutuhan oksigen sebanyak-banyaknya dan mata dalam kondisi akomodasi penuh.

Membanjirnya hormon katekholamin pun akan membangkitkan emosi sesaat dan cukup membangkitkan tindakan yang dahsyat dalam kapasitas energi seperti mempersiapkan fisik tubuh untuk “bertempur atau kabur”. Hal ini dikarenan dimana efek adrenalin memang di disain sedemikian rupa untuk menghadapi situasi-situasi darurat.

Semua itu, jika dibiarkan berlangsung lama dalam kurun waktu jangka panjang atau menjadi sebuah kebiasaan, malah akan amat sangat membahayakan kesehatan dan mempercepat proses penuaan.Secara empiris telah ditemui yang menemukan bukti bahwasanya kondisi psikis manusia disaat marah yang menahun dapat mengundang berbagai resiko potensi kematian.

Penelitian dari Duke University, Durham, Amerika Serikat, Dr. Redford Wiliams MD, Ph.D, menyimpulkan prospektifnya bahwa dokter-dokter yang dahulunya mempunyai skor tertinggi pada sebuah tes “Sikap Bermusuhan Selama Menjadi Mahasiswa di Fakultas Kedokteran” ternyata memiliki resiko 7 kali lebih besar kemungkinan meninggal diusia 50 tahun bila dibandingkan dengan mereka yang skor permusuhannya lebih rendah.

Kepala Behavioral Medicine of National Heart, Lung and Blood Institute Peter Kaufman, mengemukakan: “Bila seorang berumur 20-an seringkali marah-marah, maka setiap serangan amarah akan menumpukkan tekanan atau stress tambahan bagi jantung serta tekanan darah. Bila hal tersebut berlangsung terus menerus maka akan bersifat destruktif, karena golakan darah yang mengalir melalui arteri koroner bersama dengan percepatan detak jantung dapat menimbulkan robekan-robekan mikro pada pembuluh tersebut dan berpotensial sebagai tempat tumbuhnya plak yang menjurus pada penyakit arteri koroner.”

Sebuah studi di Standford University Medical School terhadap 1012 pria dan wanita yang menderita penyakit jantung pertama yang telah dipantau selama 8 tahun menunjukkan bahwa kaum pria yang paling agresif dan paling suka bermusuhan mempunyai resiko tertinggi terkena serangan jantung kedua.

Senada dengan hasil studi di Yale school of medicine, New Haven, Connecticut, Amerika Serikat, penelitian dilakukan terhadap 929 pria yang pernah mengalami serangan jantung dan dilacak selama 10 tahun. Tersimpulkan, kaum pria yang termasuk golongan mudah terpancing amarahnya terbukti resiko meninggal karena serangan jantung 3 kali lipat dibanding kaum pria yang berperangai tenang.

Dengan berpuasa, kontrol emosi yang berintegrasi dengan kontrol pola makan justru menghasilkan proses kontrol metabolisme tubuh dengan hasil optimal serta menjadikan tubuh lebih sehat dari sebelumnya.

Setelah pemaparan singkat diatas mengenai berbagai fakta ilmiah dari berbagai sumber telaah ilmiah yang telah mengemukakan perihal kebaikan kesehatan mengenai manfaat penerapan ibadah puasa bagi tubuh manusia, apakah masih membuat anda beban untuk berpuasa? Nah, selamat menunaikan ibadah puasa!


No comments: