Monday, October 27, 2008

Peran Intelligence Asing : Waspadai International Crisis Group (ICG)



Siapa International Crisis Group (ICG)?


Bicara tentang terorisme atau Islam radikal di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari ICG. Apa itu ICG? Dengan melihat situs resmi mereka ditambah dengan situs wikipedia dapat dipahami apa itu ICG. Secara ringkas, ICG singkatan dari International Crisis Group (ICG) adalah sebuah organisasi nonpemerintah, nirlaba internasional yang misinya mencegah dan menyelesaikan konflik berbahaya melalui analisis berdasar-medan dan advokasi tingkat-tinggi.


Ketika sebuah negara dalam resiko perpecahan, atau kekerasan skala besar, ICG mengirim beberapa tim analis politik ke dalam atau dekat daerah konflik. Organisasi ini menciptakan laporan analisis dengan rekomendasi yang ditujukan kepada pemimpin-pemimpin dunia dan organisasi-organisasi. Kelompok ini pun menerbitkan newsletter bulanan, CrisisWatch, yang memberikan sekilas berita tentang kekerasan yang sedang terjadi di dunia.


Sebagai organisasi yang menghasilkan laporan dan analisis, grup ini bekerja dengan banyak pemerintah, organisasi, dan media untuk menerbitkan dan menyebarkan laporan mereka, yang juga tersedia dalam situs resmi mereka.


Kantor pusat Crisis Group terletak di Brusel, bergerak di benua Afrika, Asia, Eropa, Amerika Latin dan Karibia, Timur Tengah dan Afrika Utara. Mereka memiliki kantor-kantor advokasi di Washington, DC, New York City, London dan Moskwa, dan juga kantor setempat di Amman, Belgrade, Beirut, Kairo, Dakar, Dushanbe, Islamabad, Jakarta, Kabul, Nairobi, Bishkek, Port-au-Prince, Pretoria, Pristina, Quito, Seoul, Skopje dan Tbilisi. ICG juga memiliki analis yang bekerja di lebih dari 40 negara dan wilayah dalam konflik di empat benua. ICG didanai melalui sumbangan dari Pemerintahan Barat, fondasi lainnya, dan organisasi, perusahaan, dan individual.


Jakarta dijadikan pusat ICG untuk Asia. ICG berada di Indonesia sejak 2000, menjelang deklarasi war on terrorism Presiden Amerika Serikat (AS) pada September 2001. Dalam situs resminya disebutkan bahwa Tim ICG di Jakarta mengeluarkan laporan-laporan dan rekomendasi mengenai kebijakan tentang perkembangan politik di Indonesia, perkembangan otonomi regional, perjuangan kaum separatis di Aceh dan Papua, kekerasan komunal dan peranan radikal Islam dengan difokuskan pada jaringan Jemaah Islamiyah. ICG Jakarta telah membuat laporan tentang Aceh, Papua, Maluku, Poso, reformasi, polisi, militer, desentralisasi dan terorisme. ICG telah menyusun sejumlah laporan mengenai isu-isu politik yang peka, termasuk masalah Aceh, Papua, Maluku, Poso, perombakan dalam tubuh Polri dan TNI, serta masalah terorisme yang banyak dikutip media asing dan pemerintah AS.


Dalam perjalanannya, ICG di Asia Tenggara yang berpusat di Jakarta dikepalai oleh Sydney Jones (Senior Advisor) dengan John Virgoe sebagai South East Asia Project Director (Direktur Proyek Asia Tenggara). Sydney Jones pernah dua kali diminta angkat kaki dari Indonesia. Pertama kali dia diminta hengkang dari Indonesia pada Juni 2004. Sydney Jones, warga negara Amerika Serikat, pada awalnya dilarang masuk ke Indonesia antara lain karena laporan-laporan yang dibuatnya tentang konflik di beberapa wilayah di Indonesia dianggap bias dan kurang obyektif. “Forum Koordinasi Intelijen menilai Sydney Jones bersama beberapa orang Indonesia lainnya telah merugikan bangsa Indonesia karena menjual informasi untuk mendapatkan uang,” kata Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) AM Hendropriyono (28 Mei 2004). Dia juga menyebutkan bahwa keberadaan Jones telah merugikan bangsa Indonesia. ICG, bersama lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang lain, kata Kepala BIN tersebut telah menjual informasi negara untuk mendapatkan uang (29 Mei 2004).


Bahkan, puluhan orang dari berbagai elemen, mahasiswa, dan masyarakat umum menggelar unjuk rasa (23 Juni 2004). Mereka meminta pemerintah mengusir Sidney Jones dan jaringan LSM-nya yang telah mengobok-obok Indonesia dan memperdagangkan kebobrokan bangsa ini demi keuntungan sesaat. Mereka berpihak pada separatis Aceh dan Papua. Kemudian, dia tinggal lagi di Indonesia (Jakarta) sejak 22 Juli 2005. Namun, karena dianggap membahayakan Indonesia, dia diusir kembali pada 24 November 2005. Menkum dan HAM Hamid Awaludin turut mau buka suara tentang alasan pencekalan terhadap Sidney Jones. Dia dianggap mengancam stabilitas keamanan dalam negeri. Pencekalan terhadap Sidney dilakukan setelah lewat proses evaluasi di bawah Menko Polhukam dan turut melibatkan unsur kepolisian, intelijen dan sebagainya. “Keputusannya Sidney kembali dicekal dengan alasan perhitungan keamanan,” ungkap Hamid (28/11/2005). Namun, dunia menekan Indonesia dan menuduh hal tersebut sebagai kemunduran bagi demokrasi dan hak hak asasi manusia di Indonesia.


Akhirnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, memerintahkan agar larangan kegiatan selama setahun bagi peneliti Amerika Sidney Jones di Indonesia, dicabut (29 November 2005). Setelah itu, Desember 2006, Sidney Jones banyak mempropagandakan AS dan memfitnah Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dalam laporannya tentang ’Jaringan Terorisme Ponpes Ngruki’. Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) menuntut pemerintah untuk mengusirnya kembali karena lebih merupakan corong AS daripada peneliti. Namun, pemerintah tidak memenuhinya. Dia pun tetap bebas bergerak.


Jadi, apa yang dilakukan selama ini oleh ICG mencerminkan visi dan misinya. Lembaga ini lebih mendukung upaya separatis di Aceh dan Papua, serta memojokkan umat Islam dengan isu terorisme.


Tudingan ICG


Pada 12 Desember 2002 ICG mengeluarkan laporan tentang terorisme Indonesia bertajuk Backgrounder: How The Jemaah Islamiyah Terrorist Network Operates (Jaringan Teroris Indonesia: Cara Kerja Jamaah Islamiyah). Hal ini menjadikan Indonesia terpojok meski fakta tak pernah membuktikan hal tersebut. Dalam laporan tersebut ICG mengatakan dari 14 ribu pesantren di Indonesia, ada 8900 pesantren yang ‘berbahaya’. Sungguh satu tuduhan yang justru berbahaya. Setelah itu, penelitian yang didanai AS menyimpulkan bahwa kitab kuning di pesantren merupakan biang kekerasan dan berikutnya pemerintah AS langsung mengusulkan agar Indonesia segera merubah kurikulum pendidikan agama, khususnya di pesantren.


ICG terus melaporkan. Pada Agustus 2003 menurunkan laporan bertajuk Jemaah Islamiyah in South East Asia: Damaged But Still Dangerous (Jamaah Islamiyah di Asia Tenggara: Hancur Tetapi Masih berbahaya). Lagi-lagi, ICG menuduh ada beberapa jaringan pesantren yang bisa dikategorikan teroris dan Jamaah Islamiyah. Setelah itu beberapa orang diciduk polisi. Hal ini menggambarkan betapa laporan ICG bukan sekedar laporan penelitian, tapi ada ’the invisible hand’ yang menggerakkannya. Tidak aneh bila banyak kalangan memandang ICG kepanjangan CIA secara halus untuk menekan pemerintahan Indonesia. Caranya, dengan membuat ’penelitian’ dan laporan hingga terkesan ilmiah. Kecurigaan itu tidaklah berlebihan. Apalagi diketahui ada hubungan antara ICG dengan pialang saham keturunan Yahudi, George Soros. Pada tahun 2003. Soros pernah dianugrahi ICG Founders Award atas kontribusinya membantu ICG. Kabarnya, laporan-laporan ICG ini memang dikirimkan kepada parlemen AS untuk menjadi bahan pertimbangan.


Pada 16 Juni 2008, ICG mengeluarkan laporan ’Indonesia: Communal Tensions in Papua’. Disana ditulis, ”Konflik antara Muslim dengan Kristen di Papua dapat meningkat bila tidak dikelola dengan baik. Kaum Kristen merasa ’diserang’ oleh migrasi kaum Muslim dari luar Papua dan mereka merasa pemerintah mendukung aktivitas Islam untuk mengeksvansi minoritas non-Muslim. Kaum Muslim pindahan itu memandang demokrasi dapat diarahkan menjadi tirani mayoritas sehingga posisi mereka disana terancam. Padahal, Kristen Papua hanya sekedar peduli terhadap penyerangan terhadap gereja-gereja di tempat manapun di Indonesia dan khawatir terhadap apa yang mereka lihat sebagai islamisasi. Pada sisi lain, Kristen Papua sedang menghadapi gerakan garis keras seperti Hizbut Tahrir. Seharusnya pemerintah di tiap tingkatan nasional, provinsi dan kota/kabupaten tidak memberikan dukungan kepada kelompok-kelompok keagamaan eksklusif.” Dalam laporan tersebut terlihat ada upaya ’halus’ adu domba Muslim dengan Kristen serta memprovokasi pemerintah untuk menekan kelompok Islam.


Bahkan, bulan Juli 2008 mengeluarkan laporan tentang Surat Keputusan Bersama (SKB) Ahmadiyah dan konflik Papua. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa pergerakan ICG selalu terkait dengan disintegrasi, konflik, Islam radikal dan terorisme. Direktur proyek International Crisis Group untuk Asia Tenggara Sydney Jones meyakini, akan ada rencana aksi teroris di Indonesia. Tak lain, maksud dan tujuannya adalah untuk merayakan peristiwa berdarah, tragedi 11 September yang mengguncang negeri Paman Sam, Amerika Serikat tahun 2001 lalu. Sidney dalam perbincangan khusus dengan Persda Network menjelaskan, aksi ini sama sekali tidak terkait dengan rencana Indonesia yang akan menggelar pesta demokrasi, Pemilu 2009. Sidney kemudian meyakini, Selamat Kastari yang kabur dari Singapura beberapa waktu lalu, kini berada di Indonesia (Kompas, 5/7/2008).


Tidak berhenti sampai di situ. Pada 7 Juli 2008, ICG mengeluarkan laporan ‘Indonesia: Implications of the Ahmadiyah Decree’. ICG menulis: “Keluarnya SKB yang membatasi aktivitas Ahmadiyah mendemontrasikan bagaimana kelompok-kelompok Islam garis keras, yang memiliki dukungan politik kecil, telah mampu menggunakan teknik-teknik advokasi klasik untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah.” Dalam pernyataan itu, Sydney Jones mengatakan: “Pemerintahan SBY telah membuat kekeliruan serius dengan mengundang Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2005 membantu membentuk kebijakan. Ini membuka pintu bagi kelompok-kelompok garis keras, termasuk Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Forum Umat Islam (FUI), untuk menekan lebih besar intervensi negara dalam agama dan melegislasi moralitas”.


Laporan itu menulis bahwa diantara faktor paling penting adalah HTI yang bekerja bersama dengan FUI menggerakkan massa memimpin demontrasi anti pornografi pornoaksi, pelarangan Ahmadiyah, dan membatalkan kenaikan harga bahan bakar minyak(BBM). Dalam aksinya, Front Pembela Islam (FPI) menjadi pihak keamanan dalam demontrasi FUI. Ini membawa HTI (yang mengaku tidak melakukan kekerasan) pada suatu aliansi dengan kelompok yang selama ini dikenal melakukan tindak kekerasan. ICG melanjutkan, “Ada dukungan yang tidak masuk akal (the unthinking support) yang diberikan pemerintahan SBY terhadap institusi-institusi seperti MUI dan Bakorpakem, lembaga pengawas kepercayaan dan keyakinan pada masa Soeharto”. Untuk menekan pemerintah, ICG menegaskan: “The result was a decree which is a setback for both Indonesia’s image as a country that can stand up to Islamic radicalism and President Yudhoyono’s image as a strong leader”, (Hasilnya adalah SKB yang merupakan langkah mundur baik terhadap citra Indonesia sebagai sebuah negara yang berhadapan dengan radikalisme Islam maupun terhadap citra Presiden Yudhoyono sebagai seorang pemimpin kuat).

Waspadai ICG


Dilihat dari sejarahnya, terlihat bahwa ICG memberikan bahaya bagi Indonesia. Ada beberapa ‘tahap’ yang dilakukan ICG selama ini. Pertama, ICG lebih banyak memberikan informasi tidak benar seputar Aceh dan Papua. Diakui atau tidak, mereka lebih pro kepada disintegrasi di kedua wilayah tersebut. Wajar bila pimpinan puncaknya di Indonesia, Sydney Jones diusir hingga dua kali. Kedua, ICG lebih mengangkat isu Jama’ah Islamiyah. Tujuannya adalah mengangkat isu terorisme di Indonesia. Muaranya, Indonesia turut dalam isu war on terrorism ala Amerika. Ketiga, kini ICG banyak menyoriti gerakan-gerakan Islam yang ingin menjaga negeri dan generasinya dari pornografi pornoaksi, aliran sesat Ahmadiyah, dan cengkeraman liberalisasi dalam kasus BBM. Arahnya adalah mencap negatif kelompok-kelompok Islam tersebut sebagai Islam radikal. Padahal, sejarah mencatat bahwa salah satu faktor penting pengokoh Indonesia adalah ajaran Islam beserta umatnya.


Pada sisi lain, dilihat dari pernyataan-pernyataan terakhir ICG berupaya untuk:



  • mencap negatif kelompok-kelompok Islam yang menentang Ahmadiyah dan pornografi pornoaksi, termasuk MUI, sebagai garis keras

  • mengopinikan bahwa dukungan politik bagi kelompok-kelompok Islam kecil

  • secara khusus menempatkan HTI sebagai kelompok yang berperan penting dalam mempengaruhi politik di Indonesia. Namun, ICG mencoba berupaya untuk melekatkan ‘dekat dengan kekerasan’ pada HTI

  • memprovokasi pemerintah Indonesia dengan menyebutnya sebagai ‘telah membuat kekeliruan serius’. Ingat, pada tahun 2005 setidaknya ada dua peristiwa terjadi, yakni rekomendasi Badan Koordinasi Pengawas Kepercayaan dan Keyakinan Masyarakat (Bakorpakem) yang melarang Ahmadiyah dan tuntutan umat Islam agar Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi-Pornoaksi disahkan

  • menekan pemerintah dengan menggunakan politik citra.

Berdasarkan hal diatas ada beberapa pelajaran, antara lain:


Lembaga asing sekalipun berlabel lembaga penelitian lebih banyak berbuat untuk kepentingan asing bukan untuk kepentingan Indonesia. Hal serupa terjadi pada kasus Namru-2 yang menggunakan label penelitian kesehatan padahal hakikatnya intelijen angkatan laut AS.Lembaga seperti ICG perlu diwaspadai karena lebih banyak menginteli kelompok Islam dan memberikan informasi yang tidak akurat, lalu menekan pemerintah Indonesia untuk bersikap keras kepada kelompok Islam.



Negara asing tetap ingin melemahkan Indonesia dengan menghentikan kebangkitan Islam. Salah satu caranya adalah dengan isu kekerasan dan terorisme.


Lajnah Siyasiyah


Hizbut Tahrir Indonesia13/7/2008




No comments: